Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sempat menetapkan Kepala Basarnas Marsdya Henri Alfiandi dan Koorsmin Kabasarnas Letnan Kolonel Adm Afri Budi Cahyanto sebagai tersangka korupsi.
Namun, rupanya mereka keliru lantaran TNI punya prosedur militer tersendiri bagi anggota mereka yang jadi tersangka korupsi. KPK mengakui kekeliruan mereka dan meminta maaf atas penetapan dua sosok tersebut menjadi tersangka.
Namun, melansir JPNN pada Minggu (30/7/2023), Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai langkah KPK untuk meminta maaf atas penetapan tersangka Marsdya Henri dan Letkol Afri merupakan langkah yang keliru. KPK diminta terus melanjutkan proses hukum dan menyidangkan Henri dan Afri dalam peradilan umum.
Baca Juga: KPK Tetapkan Kabasarnas Jadi Tersangka Korupsi, Mahfud MD Minta Serahkan ke Pengadilan Militer
Hal itu disampaikan koalisi yang mewadahi Imparsial, Elsam, Centra Initiative, PBHI Nasional, WALHI, YLBHI, Amnesty International Indonesia, Public Virtue, Forum de Facto, KontraS, LBH Pers, ICW, LBH Masyarakat, HRWG, ICJR, LBH Jakarta, LBH Malang, Setara Institute, AJI Jakarta, dan AlDP.
"Dapat merusak sistem penegakan hukum pemberantasan korupsi di Indonesia. Sebagai kejahatan yang tergolong tindak pidana khusus atau korupsi, KPK seharusnya menggunakan UU KPK sebagai pijakan dan landasan hukum dalam memproses militer aktif yang terlibat dalam kejahatan korupsi tersebut," kata Ketua PBHI Julius Ibrani dalam keterangannya, Sabtu (29/7/2023).
Koalisi memandang KPK dapat mengabaikan mekanisme peradilan militer dengan dasar asas lex specialist derogat lex generalis atau UU yang khusus mengenyampingkan UU yang umum. Dengan demikian KPK harusnya mengusut kasus ini hingga tuntas dan tidak perlu meminta maaf.
"Permintaan maaf dan penyerahan perkara kedua prajurit tersebut kepada Puspom TNI hanya akan menghalangi pengungkapan kasus tersebut secara transparan dan akuntabel. Lebih dari itu, permintaan maaf dan penyerahan proses hukum keduanya tersebut bisa menjadi jalan impunitas bagi keduanya," kata dia.
Dia menerangkan sistem hukum angkatan bersenjata sebagaimana yang diatur dalam UU No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer merupakan sistem yang eksklusif bagi prajurit yang terlibat dalam tindak kejahatan. Hal itu sering kali menjadi sarana impunitas bagi mereka yang melakukan tindak pidana.
Khazanah Islam: Pujian untuk Ambisi Berkelanjutan, Warta Ekonomi Gelar Indonesia Most Visionary Companies Awards 2024