Dirinya menghabiskan waktunya di Bukhara, sebuah kota yang terletak di Kazakhstan untuk belajar dan menuntut ilmu di sana sebelum akhirnya mengembara ke Baghdad, Irak, ketika dirinya memasuki usia yang ke-50 tahun.
Di sanalah dirinya mulai menemukan keinginan untuk belajar filsafat dari Filsuf Kristen terkenal bernama Yuhana bin Jilad. Perlahan tapi pasti, Al-Farabi mengembangkan teori filsafatnya sendiri. Nama Al-Farabi akhirnya terdengar sampai dunia barat.
Baca Juga: Profil Ibnu Sina, Ilmuwan Paling Berpengaruh dalam Islam
Jadi “Guru Kedua” Sebelum Meninggal
Pemikiran-pemikiran Al-Farabi sempat sampai ke telinga para filsuf di dunia barat seperti Aristoteles, Plato dan Plotinus. Mereka banyak mendapat pengetahuan baru setelah mempelajari pendapat dan pemikiran Al-Farabi dalam banyak aspek.
Lebih dari itu, Al-Farabi juga banyak memperoleh ilmu dari para filsuf ini yang membantunya membentuk pemikirannya tersendiri. Bahkan, Al-Farabi dijuluki sebagai “Guru Kedua” dunia filsafat, berada persis di bawah Aristoteles sebagai Guru Pertama.
Baca Juga: Deretan Penemuan Ibnu Sina yang Jadi Terobosan Dunia Ilmu Pengetahuan
Ini membuktikan bahwa pemikiran Al-Farabi ini banyak dipakai tidak hanya oleh masyarakat Muslim saja, melainkan juga orang-orang di dunia barat.
Pada akhirnya, Al-Farabi diketahui meninggal di Damaskus, Suriah pada 951 masehi. Saat itu, Al-Farabi sudah memasuki usia 80 tahun. Dirinya meninggal dan dikenang masyarakat luas sebagai salah satu filsuf dengan pemikiran yang membantu membentuk lanskap filsafat modern.
Khazanah Islam: Masuk Daftar Nominator Warisan Budaya Tak Benda, Reog Ponorogo Segera Diakui UNESCO