Wacana Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 dilaksanakan dengan sistem proporsional tertutup ditentang banyak orang karena dianggap tidak demokratis dan hanya akan mempersulit masyarakat. Sosok yang aktif menentangnya adalah aktivis sekaligus pakar hukum, Denny Indrayana.
Melansir Republika pada Jumat (2/6/2023), Denny menyebut ada empat kekacauan politik yang berpotensi terjadi apabila Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan sistem pemilu proporsional tertutup alias sistem coblos partai digunakan pada Pemilu 2024.
Pertama, partai politik terpaksa menyusun ulang daftar bakal caleg-nya yang sudah terlanjur diserahkan ke KPU. Sebab, tahapan pendaftaran calon legislatif (caleg) Pemilu 2024 sudah digelar menggunakan desain dan logika sistem proporsional terbuka.
Baca Juga: Cawe-cawe Pemilu 2024, Rocky Gerung Sebut Jokowi Ingin Pertahankan Dinastinya
Kedua, banyak bakal caleg yang mengundurkan diri karena tidak mendapatkan nomor urut kecil atau teratas dalam daftar caleg partai. Sebagai catatan, dalam sistem proporsional tertutup, nomor urut merupakan penentu caleg mana yang berhak menenangkan kursi anggota dewan.
"Ketiga, ada potensi terjadi perebutan, bahkan perkelahian, dan jual beli nomor urut," kata Denny lewat keterangan tertulisnya, Kamis (1/6/2023).
Keempat, tiga kekacauan sebelumnya akan mengakibatkan persiapan Pemilu 2024 terganggu. Karena itu, Denny mendorong Mahkamah Agung (MK) menolak gugatan uji materi sistem proporsional terbuka itu.
Baca Juga: Jika Proporsional Tertutup Diberlakukan, Anies Sebut Kemunduran Bagi Demokrasi
Menurutnya, MK bisa menolak dengan menggunakan argumentasi bahwa pilihan sistem pemilu merupakan open legal policy alias kebijakan hukum terbuka yang merupakan kewenangan lembaga pembentuk undang-undang.
Dengan begitu, sistem proporsional terbuka tetap berlaku dalam Pemilu 2024. "Kalaupun mau mengubah sistem, maka serahkanlah kepada proses legislasi di parlemen," kata Denny.
Khazanah Islam: Masuk Daftar Nominator Warisan Budaya Tak Benda, Reog Ponorogo Segera Diakui UNESCO