Lima negara lain juga berbatasan dengan Sudan, yakni Libya, Chad, Republik Afrika Tengah, Eritrea, serta Sudan Selatan yang memisahkan diri pada 2011. Hampir semuanya terperosok dalam konflik internal mereka sendiri, termasuk dengan berbagai kelompok pemberontak.
“Apa yang terjadi di Sudan tidak akan tinggal di Sudan. Chad dan Sudan Selatan terlihat paling berisiko terhadap potensi limpahan. Tapi semakin lama (pertempuran) berlarut-larut, semakin besar kemungkinan kita melihat intervensi eksternal yang besar," ujar Alan Boswell dari International Crisis Group.
Baca Juga: Pengamat: Genderang Perang Mulai Ditabuh Anas Urbaningrum
Kekuatan eksternal Sudan
Uni Emirat Arab punya hubungan dekat dengan RSF yang mengirim ribuan pejuang untuk membantu dalam perang melawan kelompok Houthi di Yaman. Sementara itu, Rusia punya rencana pembangunan pangkalan angkatan laut berdaya tampung 300 tentara.
Pembangunan itu direncanakan di Port Sudan sebagai jalur perdagangan Laut Merah yang penting bagi pengiriman energi ke Eropa.
Bisakah orang luar menghentikan konflik?
Ekonomi Sudan yang terpuruk agaknya memberi celah bagi negara-negara Barat untuk menggunakan sanksi ekonomi demi menekan kedua belah pihak agar mundur. Namun, kelompok bersenjata di sana telah lama memperkaya diri.
Kebanyakan, dengan perdagangan gelap mineral langka dan sumber daya alam lainnya. Mereka juga bisa mengandalkan pengusaha di Khartoum dan sepanjang tepi Sungai Nil selama pemerintahan panjang al-Bashir.
Di sisi lain, banyaknya calon mediator seperti AS, PBB, Uni Eropa, Mesir, Uni Afrika, negara-negara Teluk, hingga blok delapan negara Afrika timur (IGAD) disebut bisa membuat upaya perdamaian lebih rumit dari perang itu sendiri.
Baca Juga: Ganjar Dinasehati Said Abdullah Agar Tak Terperangkap Godaan PAN-PPP
"Mediator eksternal berisiko menjadi kemacetan lalu lintas tanpa polisi,” kata De Waal.
Khazanah Islam: Pujian untuk Ambisi Berkelanjutan, Warta Ekonomi Gelar Indonesia Most Visionary Companies Awards 2024