Misalnya, Serat Ambiya, Tajus Salatin, Hikayat Makutha Raja, Serat Menak, Babad Keraton, Arjuna Sasrabahu, Serat Bratayudha, dan Rama Badra.
Ratu juga menunjuk Kyai Ahmad Ngusman, kepala pasukan Suronatan dan Letnan Abbas, perwira Sepoy untuk mengajar baca Al-Qur’an dan baca tulis Melayu demi mendukung pendidikan sang raja kecil ini.
Baca Juga: Sejarah Hari Ini: Hari Bipolar Sedunia, Peringatan Bertema dengan Tujuan Mulia
Namun, kedekatan Pangeran Diponegoro dan keraton mulai renggang saat Patih Danurejo IV semakin menancapkan pengaruhnya di Kasultanan. Ia mendukung sistem sewa tanah untuk swasta, yang mana mengakibatkan kesengsaraan bagi penduduk kasultanan.
Sebelumnya, belum pernah ada pengusaha Eropa yang menjalankan usaha perkebunan besar seperti kopi dan nilai hingga masa itu.
Patih Danurejo IV juga menempatkan para saudaranya di posisi strategis. Puncak ketegangan Pangeran Diponegoro dengan Patih Danurejo IV ialah tatkala Garebeg Sawal pada 12 Juli 1820. Pangeran Diponegoro mencela Patih Danurejo di hadapan Sultan yang telah mulai berkuasa secara mandiri.
Celaan itu karena telah menyewakan tanah kerajaan di Rejowinangun.
Kepemimpinan mandiri Sultan Hamengku Buwono IV berlangsung begitu singkat, hanya dua tahun karena ia meninggal dunia. Sultan berusia 19 tahun saat meninggal. Namanya kemudian dikenal sebagai Sultan Seda Besiyar.
Sri Sultan Hamengku Buwono IV mendapat 18 orang anak dari pernikahannya dengan sembilan orang istri. Namun, hampir sepertiga dari anak-anaknya meninggal saat masih kecil.
Baca Juga: Sejarah Hari Ini: Penangkapan Pangeran Diponegoro, Abadi dalam Lukisan
Penerusnya ialah putra dari Permaisuri GKR Kencono, Gusti Raden Mas Gatot Menol yang masih berusia 3 tahun.
Khazanah Islam: Masuk Daftar Nominator Warisan Budaya Tak Benda, Reog Ponorogo Segera Diakui UNESCO