Sri Sultan Hamengku Buwono IV lahir pada 3 April 1804. Tanggalnya bertepatan dengan hari ini. Ia adalah Raja Kesultanan Yogyakarta yang termuda, memerintah pada 1814-1822.
Raja dengan nama kecil Gusti Raden Mas (GRM) Ibnu Jarot ini ditunjung menjadi putera mahkota saat penobatan ayahnya sebagai sultan pada 21 Juni 1812. Tak lama, ia pun naik tahta sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono IV pada 9 November 1814.
Ya, saat usianya masih 10 tahun.
Baca Juga: Sejarah Hari Ini: Didirikannya Kopaska yang Begitu Mendadak
Masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono IV sangat singkat karena ia wafat pada 6 Desember 1823, setelah berkunjung dari pesanggrahannya. Berbagai kebijakan dibuat olehnya selama memimpin, tetapi di bawah kendali Ratu Ibu, Patih Danurejo IV, dan Belanda.
Ya, sebab usianya masih 10 tahun.
Usianya yang masih belia membuat pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono IV didampingi oleh wali raja. Salah satunya, ialah Pangeran Notokusumo yang bergelar Paku Alam I. Mengutip laman Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, kedudukannya hingga Sultan mencapai akil baligh di usia 16 tahun pada 1820.
Meski begitu, Ibunda Sultan yang disebut Ratu Ibu, dan Patih Danurejo IV-lah yang menjalankan wewenang sebagai wali sultan sehari-hari, sejak menjelang penyerahan kekuasaan Inggris ke Belanda pada 1816.
Sejarah ini pun berkaitan dengan Pangeran Diponegoro, yang kedekatannya dengan Sri Sultan Hamengku Buwono IV digambarkan bak Kresna mengajari Arjuna. Pangeran Diponegoro disebut Kitab Kedung kebo dan Babad Ngayogyakarta sangat memperhatikan pendidikan sang raja.
Baca Juga: Sejarah Hari Ini: Peringatan Hari Film Nasional yang ke-73
Tak jarang, Pangeran menemui sultan belia dari Tegalrejo untuk menceritakan kisah-kisah budi pekerti dari kitab Fatah Al-Mulk dan raja-raja khayali Arab maupun Syiria. Bahkan, sang pangeran pun sering membacakan naskah penting.
Misalnya, Serat Ambiya, Tajus Salatin, Hikayat Makutha Raja, Serat Menak, Babad Keraton, Arjuna Sasrabahu, Serat Bratayudha, dan Rama Badra.
Ratu juga menunjuk Kyai Ahmad Ngusman, kepala pasukan Suronatan dan Letnan Abbas, perwira Sepoy untuk mengajar baca Al-Qur’an dan baca tulis Melayu demi mendukung pendidikan sang raja kecil ini.
Baca Juga: Sejarah Hari Ini: Hari Bipolar Sedunia, Peringatan Bertema dengan Tujuan Mulia
Namun, kedekatan Pangeran Diponegoro dan keraton mulai renggang saat Patih Danurejo IV semakin menancapkan pengaruhnya di Kasultanan. Ia mendukung sistem sewa tanah untuk swasta, yang mana mengakibatkan kesengsaraan bagi penduduk kasultanan.
Sebelumnya, belum pernah ada pengusaha Eropa yang menjalankan usaha perkebunan besar seperti kopi dan nilai hingga masa itu.
Patih Danurejo IV juga menempatkan para saudaranya di posisi strategis. Puncak ketegangan Pangeran Diponegoro dengan Patih Danurejo IV ialah tatkala Garebeg Sawal pada 12 Juli 1820. Pangeran Diponegoro mencela Patih Danurejo di hadapan Sultan yang telah mulai berkuasa secara mandiri.
Celaan itu karena telah menyewakan tanah kerajaan di Rejowinangun.
Kepemimpinan mandiri Sultan Hamengku Buwono IV berlangsung begitu singkat, hanya dua tahun karena ia meninggal dunia. Sultan berusia 19 tahun saat meninggal. Namanya kemudian dikenal sebagai Sultan Seda Besiyar.
Sri Sultan Hamengku Buwono IV mendapat 18 orang anak dari pernikahannya dengan sembilan orang istri. Namun, hampir sepertiga dari anak-anaknya meninggal saat masih kecil.
Baca Juga: Sejarah Hari Ini: Penangkapan Pangeran Diponegoro, Abadi dalam Lukisan
Penerusnya ialah putra dari Permaisuri GKR Kencono, Gusti Raden Mas Gatot Menol yang masih berusia 3 tahun.
Khazanah Islam: Masuk Daftar Nominator Warisan Budaya Tak Benda, Reog Ponorogo Segera Diakui UNESCO