Pasalnya, kitab yang disebutkan memuat hadits tersebut bukanlah kitab induk. Al-Jâmi'ush Shaghîr, Riyâdlush Shâlihîn, dan sejenisnya merupakan kitab-kitab yang menukil hadits-hadits dari kitab induk.
Menurut pengertian tersebut, menyebutkan status hadits bukanlah sebuah syarat mutlak dalam melakukan takhrij. Hanya dilakukan jika menurut mukharrij atau orang yang mentakhrij dianggap penting.
Baca Juga: Apa Itu Sanad? Silsilah Asal Hadits dan Sejarahnya
Misalnya, hadits tersebut belum dijelaskan statusnya di dalam sumber aslinya, atau mukharrij memiliki hasil penelitian (ijtihad) yang berbeda dengan penulis sumber asli dalam menilai status hadits.
Ada banyak kitab-kitab yang ditulis khusus untuk takhrij. Contohnya, Takhrîju Ahâdîtsil Muhadzdzab karya al-Hafidh al-Hazimi (wafat 584 H), dua kitab takhrij karya al-Hafidh al-'Iraqi (wafat 806 H) terhadap hadits-hadits dalam kitab Ihyâ'; yang besar dan yang ringkas.
Adapun, yang ringkas diberi nama al-Mughni 'an Hamlil Asfâr dan di kemudian hari dicetak bersama Ihyâ'. Lalu at-Talkhîshul Habîr karya al-Hafidh Ibnu Hajar (wafat 852 H) yang mentakhrij hadits-hadits dalam asy-Syarh al-Kabîr karya Imam ar-Rafi'i (wafat 623 H).
Baca Juga: Benarkah Dalil Hukum Syar’i Hanya Al-Qur’an dan Hadits?
Kreatifitas penyusunan kitab takhrij baru muncul belakangan. Pasalnya, kerja ilmiah itu belum ada pada masa ulama mutaqaddimîn sebelum tahun 500 H.