Apa itu takhrij hadits? Takhrij hadits adalah mengemukakan hadits berdasarkan sumbernya atau berbagai sumber dengan mengikutsertakan metode periwayatan dan kualitasnya.
Kata takhrij adalah bentuk mashdar dari (خرّج-يخرّج-تخريجا) yang secara bahasa berarti mengeluarkan sesuatu dari tempatnya.
Para pengkaji ilmu keislaman tentu sering mendengar istilah takhrijul hadits. Menurut laman Islam Nahdlatul Ulama (NU) Online, definisi takhrij sendiri adalah sebagai berikut:
اَلدِّلَالَةُ عَلَى مَوْضَعِ الْحَدِيثِ فِي مَصَادِرِهِ الْأَصْلِيَّةِ الَّتِي أَخْرَجَتْهُ بِسَنَدِهِ، ثُمَّ بَيَانُ مَرْتَبَتِهِ عِنْدَ الْحَاجَةِ
Baca Juga: Apa Itu Rawi? Periwayat yang Menyampaikan Hadits dari Masa ke Masa
Artinya, "Menunjukkan asal suatu hadits di dalam sumber aslinya yang meriwayatkan hadits tersebut beserta sanadnya, lalu menjelaskan status hadits tersebut bila dibutuhkan." (Mahmud ath-Thahhan, Ushûlut Takhrîj wa Dirâsatul Asânid, [Riyadl, Maktabatul Ma'ârif: 2010], halaman 10).
Adapu, yang dimaksud sumber asli ialah kitab-kitab induk hadits, seperti al-Kutubus Sittah, Musnad Ahmad, al-Muwaththa', Tafsîruth Thabari, al-Umm, dan semisalnya. Kitab-kitab tersebut berisi hadits yang diriwayatkan langsung oleh para penulisnya, bukan mengutip dari kitab lain.
Baca Juga: Tahammul dan Kaitannya dengan Periwayatan Hadits
Oleh sebab itu, penyebutan asal suatu hadits tapi tidak pada sumber aslinya, tidak sah disebut sebagai takhrij. Sebagai contoh, Anda mendapati hadits di dalam salah satu kitab yang ingin di-takhrij, tetapi menyebutkan hadits tersebut ditemukan di dalam kitab al-Jâmi'ush Shaghîr, Riyâdlush Shâlihîn, atau kitab lain yang bukan sumber asli, maka hal ini tidak bisa dinamakan takhrij.
Pasalnya, kitab yang disebutkan memuat hadits tersebut bukanlah kitab induk. Al-Jâmi'ush Shaghîr, Riyâdlush Shâlihîn, dan sejenisnya merupakan kitab-kitab yang menukil hadits-hadits dari kitab induk.
Menurut pengertian tersebut, menyebutkan status hadits bukanlah sebuah syarat mutlak dalam melakukan takhrij. Hanya dilakukan jika menurut mukharrij atau orang yang mentakhrij dianggap penting.
Baca Juga: Apa Itu Sanad? Silsilah Asal Hadits dan Sejarahnya
Misalnya, hadits tersebut belum dijelaskan statusnya di dalam sumber aslinya, atau mukharrij memiliki hasil penelitian (ijtihad) yang berbeda dengan penulis sumber asli dalam menilai status hadits.
Ada banyak kitab-kitab yang ditulis khusus untuk takhrij. Contohnya, Takhrîju Ahâdîtsil Muhadzdzab karya al-Hafidh al-Hazimi (wafat 584 H), dua kitab takhrij karya al-Hafidh al-'Iraqi (wafat 806 H) terhadap hadits-hadits dalam kitab Ihyâ'; yang besar dan yang ringkas.
Adapun, yang ringkas diberi nama al-Mughni 'an Hamlil Asfâr dan di kemudian hari dicetak bersama Ihyâ'. Lalu at-Talkhîshul Habîr karya al-Hafidh Ibnu Hajar (wafat 852 H) yang mentakhrij hadits-hadits dalam asy-Syarh al-Kabîr karya Imam ar-Rafi'i (wafat 623 H).
Baca Juga: Benarkah Dalil Hukum Syar’i Hanya Al-Qur’an dan Hadits?
Kreatifitas penyusunan kitab takhrij baru muncul belakangan. Pasalnya, kerja ilmiah itu belum ada pada masa ulama mutaqaddimîn sebelum tahun 500 H.