Menu


Mengenal Prasasti Sukabumi Kediri, Awal Bahasa-Sastra Jawa

Mengenal Prasasti Sukabumi Kediri, Awal Bahasa-Sastra Jawa

Kredit Foto: Good News from Indonesia

Konten Jatim, Jakarta -

Baru-baru ini memperingati ditulisnya Prasasti Sukabumi dari Kediri, Jawa Timur, yang menjadi awal bahasa dan sastra Jawa. Tepatnya, ditemukan di Desa Siman, Kepung.

Prasasti ini juga dikenal dengan nama Prasasti Harinjing yang berisi catatan peraturan tentang hukum yang terjadi pada tiga masa kepemimpinan. 

Tiga pemimpin tersebut yakni Pendeta Agung Bhagawanta Bari pada 904 Masehi, Raja Rakai Layang Dyah Tulodong pada 921 Masehi, serta diteruskan oleh keturunannya pada 927 Masehi.

Baca Juga: Sejarah Singkat Imsak Menurut Ustadz Adi Hidayat

Prasasti Sukabumi sendiri berupa prasasti pada batu. Tulisan yang terdapat pada kedua belah sisi prasasti ini, menurut laman Budaya Indonesia, ditulis dengan aksara dan bahasa Jawa Kuna. Di dalamnya terdapat tiga buah piagam tentang hal yang sama.

Bagian depannya disebut Prasasti Harinjing A yang isinya menyebut pada 11 suklapaksa bulan Caitra tahun 726 Saka (25 Maret 804 Masehi), para pendeta di daerah Culanggi memperoleh hak sima (tanah yang dilindungi dari pajak) atas daerah mereka.

Hal ini karena mereka telah berjasa membuat sebuah saluran sungai bernama Harinjing. Kebijakan pembuatan tanggul di sungai itu dilakukan oleh Bhagawan Bari agar warganya terhindar dari banjir.

Baca Juga: Sejarah Hari Ini: Berdirinya VOC dan Sejarah Besarnya

“La Bhaganwanta Bari i Culanggi sumaksyakan simaniran mula dawu (pendeta agung Bhagawan Bari dari Culanggi menyaksikan penetapan tanah bebas pajak untuk membuat tanggul),” tertulis demikian di prasasti, seperti dikutip dari Good News from Indonesia.

Kemudian, ada pula Prasasti Harinjing B yang lebih menekankan soal hukum perkara terhadap seseorang. 

“Pamgat bawang tiruan halaran kumonnakan sasana sang dewata lumah I kwak ka (pemberi keputusan ‘terdiri dari’ Bawang, Tiruan, Halaran yang memerintahkan surat perintah dari almarhum yang dicandikan di kwak).”

Baca Juga: Apa Itu Puasa Ramadhan? Berikut Sejarah, Hikmah dan Manfaat

Tak cuma itu, ada pula aturan tentang sanksi terhadap seseorang yang melanggar aturan dalam Prasasti Harinjing B. 

“Gawanta Bari ya Sangkanani Pramadanya salwirani langghana ring ajna haji lwiranya nigrahan ya ri mas ka 1 (kalau Bhagawanta Bari melanggar perintah raja maka akan mendapat denda 1 kati).”

Adapun pada bagian belakang Prasasti Harinjing B baris 1-23 juga menyebut Sri Maharaja Rake Layang Dyah Tulodhong pada 15 Suklapaksa bulan Asuji tahun 843 Saka (19 September 921 Masehi), mengakui hak para pendeta di Culangi karena mereka masih tetap harus memelihara saluran Harinjing.

Baca Juga: Sejarah Kampung Tanah Merah Yang Kini Hangus Terbakar Si Jago Merah

Baris selanjutnya, yang disebut Prasasti Harinjing C, menyebut hak serupa yang diakui pula pada 1 Suklapaksa bulan Caitra tahun 849 Saka (7 Maret 927 masehi).

Khazanah Islam: Masuk Daftar Nominator Warisan Budaya Tak Benda, Reog Ponorogo Segera Diakui UNESCO