Sayangnya, Ibnu Sina kerap terjebak dalam perselisihan politik dan agama yang menggelora pada zaman itu. Akibatnya, keilmuan Ibnu Sina sempat terhambat oleh kasus-kasus “sepele” macam itu.
Tetapi, di kota Eṣfahān, tepatnya di bawah sosok bernama ʿAlā al-Dawlah, dirinya menemukan stabilitas dan keamanan yang menghindarinya. Ibnu Sina dapat dikatakan mengalami hari tenang selama waktunya di Eṣfahān, di mana dia diisolasi dari intrik politik.
Baca Juga: Pentingnya Menyeimbangkan Antara Ilmu dan Takwa dalam Hidup
Lebih dari itu, dirinya juga dapat mengadakan sebuah diskusi bersama cendekiawan Muslim lain setiap hari Jumat, mendiskusikan berbagai topik semau mereka.
Dalam iklim yang menyehatkan ini, Ibnu Sina menyelesaikan Kitāb al-shifāʾ, menulis Dānish nāma-i ʿalāʾī (Buku Pengetahuan) dan Kitāb al-najāt (Buku Keselamatan), dan menyusun tabel astronomi yang baru dan lebih akurat, jauh dari permasalahan.
Masa Tua dan Wafat
Saat ditemani ʿAlā al-Dawlah, Ibnu Sina mengalami permasalahan di perutnya. Dengan pengetahuannya, Ibnu Sina merawat dirinya sendiri dengan menggunakan 8 enema biji seledri yang dikelola sendiri dalam satu hari.
Namun, persiapan itu baik secara tidak sengaja atau sengaja diubah oleh petugas untuk memasukkan 5 ukuran bahan aktif, bukan 2 seperti yang sudah ditentukan. Akibatnya, terjadilah ulserasi usus dalam tubuh Ibnu Sina.
Ternyata, seorang budak mencoba meracuni Ibnu Sina dengan diam-diam menambahkan opium yang berlebihan. Lemah tapi tak kenal lelah, dia menemani ʿAlā al-Dawlah dalam perjalanannya ke Hamadan. Dalam perjalanan dia mengalami perubahan yang parah menjadi lebih buruk, bertahan beberapa saat dan meninggal di bulan suci Ramadhan.
Baca Juga: Apa Itu Mazhab? Pemahaman Cendekiawan Islam soal Hukum Agama?
Ibnu Sina diketahui meninggal pada 1037 di sekitar Hamadan. Hingga saat ini, namanya tersemat sebagai salah satu ilmuwan Muslim paling berpengaruh di dunia yang menciptakan banyak terobosan dalam berbagai macam bidang ilmu pengetahuan.
Khazanah Islam: Masuk Daftar Nominator Warisan Budaya Tak Benda, Reog Ponorogo Segera Diakui UNESCO