Hukum mengonsumsi hewan ini adalah haram, karena hewan ini dianggap hewan yang menjijikkan (menurut orang Arab).” (Syekh Kamaluddin ad-Damiri, Hayat al-Hayawan al-Kubra, juz 1, hal. 234)
Referensi tersebut membuat hukum memakan bekicot menjadi hal haram karena dianggap menjijikan menurut pandangan orang Arab. Meski ada yang menganggapnya hewan normal untuk dikonsumsi dan tak menjijikan, penilaiannya tetap tak berubah secara umum.
Adapun hukum menjual sate bekicot pun menjadi hal yang diharamkan karena hewannya juga diharamkan. Hal ini karena akan mengantarkan orang lain melakukan keharaman berupa mengonsumsi hewan yang haram dimakan.
Pandangan di atas merupakan pendapat dalam mazhab Syafi’i, seperti yang dianut mayoritas muslim di Indonesia. Jika berpijak pada mazhab lain, masih ada ulama yang memandang hewan yang satu ini bukanlah haram.
Misalnya, pendapat Imam Malik seperti dikutip dalam kitab al-Mudawwanah al-Kubra:
ولقد سئل مالك عن شئ يكون في المغرب يقال له الحلزون يكون في الصحارى يتعلق بالشجر أيؤكل قال أراه مثل الجراد ما أخذ منه حيا فسلق أو شوي فلا أرى باكله بأسا وما وجد منه ميتا فلا يؤكل
“Imam Malik pernah ditanya tentang hewan yang ditemukan di tanah Maghrib (Maroko) biasa disebut dengan halzun. Hewan ini biasa berada di hutan belantara dan bergantungan pada pepohonan. Apakah hewan ini dapat dimakan?
Beliau menjawab, ‘Aku berpandangan hewan tersebut seperti jarad (belalang) jika diambil dalam keadaan hidup lalu diseduh atau dimasak, sehingga menurutku mengonsumsi hewan tersebut tidak masalah. Sedangkan ketika ditemukan dalam keadaan mati, maka tidak boleh di makan’.” (Imam Sahnun bin Said at-Tanukhi, al-Mudawwanah al-Kubra, juz 3, hal. 111)
Baca Juga: 2 Macam Asal-Usul Sate Madura, dari Favorit Pendekar Ponorogo sampai Dibawa Pedagang Jalanan
Pendapat ulama yang memperbolehkan bekicot sebaiknya ditempatkan dalam tataran yang sesuai. Jika terpaksa memakan bekicot alias mendesak, seseorang dapat berpijak pada mazhab Maliki.