Salah satunya adalah Jenderal Besar Abdul Haris (A.H.) Nasution, yang kagum dengan kepiawaian Pierre Tendean. Dirinya ingin sosok yang saat itu berpangkat Letnan Dua ini menjadi ajudannya. Tentu saja Pierre Tendean juga ingin bekerja langsung di bawah arahan sang sosok penting dalam tubuh TNI tersebut.
Namun, Pierre Tendean harus siap untuk ditugaskan di Jakarta. Dengan demikian, dirinya harus rela pergi jauh dari keluarganya yang saat itu tinggal di Semarang. Sang keluarga sendiri sempat tidak ingin Pierre Tendean menjadi ajudan Jenderal Besar Nasution.
Baca Juga: Kenapa Masyarakat Menganggap Zaman Soeharto Lebih Enak? Apakah Benar Demikian?
Selain ibunya, sang kakak, Mitzi Tendean, berusaha membujuk Pierre Tendean untuk tidak menjadi ajudan dan tinggal di Jakarta. Pada akhirnya, pria kelahiran 21 Februari 1939 ini menemukan jalan tengah, di mana dirinya berjanji untuk bekerja sebagai ajudan hanya setahun, dan akan kembali ke keluarganya setelah selesai.
Lagi-lagi keluarganya akhirnya merestui kiprah Pierre Tendean. Pada April 1965, Pierre Tendean resmi bekerja di bawah arahan Jenderal Besar Nasution. Sang keluarga, meskipun khawatir, tetap senang dengan fakta anak laki-laki mereka bekerja di bawah arahan sosok penting.
Baca Juga: Sejarah Hari Ini: Wafatnya Soeharto, Presiden Terlama di Indonesia
Sayangnya, belum sampai setahun, Pierre Tendean menjadi korban keganasan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang melakukan Gerakan 30 September, dikenal dengan G30S PKI, dan tewas sebelum bisa kembali ke keluarganya.
Khazanah Islam: Pujian untuk Ambisi Berkelanjutan, Warta Ekonomi Gelar Indonesia Most Visionary Companies Awards 2024