Selain agama, penolakan terhadap kaum LGBT juga bisa dilihat dari kacamata suku dan wikayah.
Resistensi pada LGBT nampak sangat kuat di wilayah Sumatera, DKI-Banten, Jabar, Jateng-DIY, dan Jatim. Di Jawa Barat, misalnya, 82 persen tidak menerima LGBT untuk menjadi tetangga, 89 persen tidak menerima jika LGBT menjadi guru di sekolah negeri dan menjadi pejabat pemerintah.
Berkorelasi dengan wilayah, penolakan terhadap keberadaan LGBT di kalangan suku Jawa, Sunda, Batak, Madura, Betawi, dan Minang juga tinggi. Persentasenya di atas 60 persen.
Kendati demikian, ada juga wilayah dan suku di Indonesia yang relatif masih bisa menerima keberadaan kaum LGBT.
Dalam survei yang dilakukan SMRC, persentase penolakan bertetangga dengan kaum LGBT di Indonesia Timur hanya sebesar 55 persen.
Di kalangan masyarakat suku bugis, penolakan bertetangga dengan kaum LGBT bahkan hanya 37 persen.
"Ada di sini yang menarik, Bugis. Kan ada literatur tentang itu, bagaimana soal gen, soal orientasi seksual yang lebih beragam, tidak hanya sekedar laki-laki dan perempuan. Itu dikenal dalam budaya bugis," kata Saiful Mujani dalam channel youtube SMRC.
Meski masih mau bertetangga, hasil survei SMRC menyebut responden dari suku bugis masih keberatan apabila kaum LGBT mengisi posisi sebagai guru di sekolah negeri maupun pejabat di pemerintahan.
"Yang keberatan bertetangga hanya 37 persen. Untuk tetangga. Tapi kalau untuk menjadi guru dan pejabat publik (penolakannya) tinggi juga," ucap Saiful Mujani.
Khazanah Islam: Masuk Daftar Nominator Warisan Budaya Tak Benda, Reog Ponorogo Segera Diakui UNESCO