Larung Sembonyo merupakan warisan budaya yang telah dijaga turun-temurun oleh masyarakat nelayan Prigi, Trenggalek, Jawa Timur. Upacara ini adalah perwujudan dari rasa syukur dan penghormatan terhadap hasil laut yang melimpah.
Lebih dari sekadar tradisi, Larung Sembonyo mengandung makna yang dalam bagi kehidupan masyarakat pantai Prigi dan merupakan bagian tak terpisahkan dari identitas budaya Kabupaten Trenggalek.
Sejarah Larung Sembonyo merentang jauh ke masa lalu. Cerita tradisional yang membentuk asal mula upacara ini terkait dengan Tumenggung Yudha Negara, utusan dari Kerajaan Mataram. Berikut penjelasan lebih lengkapnya menyadur beberapa sumber pada Kamis (24/8/2023).
Baca Juga: Larung Sembonyo, Tradisi Ucap Rasa Syukur Terhadap Hasil Laut di Trenggalek
Sejarah Larung Sembonyo
Tradisi Larung Sembonyo mengambil akar dari peristiwa pernikahan Tumenggung Yudha Negara, seorang utusan Kerajaan Mataram yang ditugaskan untuk perluasan lahan di sepanjang pantai Pulau Jawa.
Tumenggung Yudha Negara dikenal sebagai seorang kesatria yang penuh keberanian, memiliki kemampuan luar biasa dalam bertempur, dan ahli dalam babad alas. Bersama saudara-saudaranya, Tumenggung Yudha melangkah dalam perjalanan perluasan lahan.
Namun, tugas tersebut tidaklah ringan, dan saudara-saudaranya diberi tugas menjaga wilayah yang telah mereka singgahi untuk membuka lahan baru. Di tengah perjalanan, Tumenggung Yudha melanjutkan ekspedisi menuju Pantai Prigi.
Pantai Prigi pada masa itu dikenal sebagai tempat yang penuh dengan kekuatan gaib dan makhluk-makhluk supernatural. Tidak gentar, Tumenggung Yudha merenung dan bermeditasi di wilayah tersebut.
Akhirnya, penguasa gaib wilayah tersebut memberikan persetujuan kepada Tumenggung Yudha untuk menguasai dan membuka lahan tersebut, dengan satu syarat: Tumenggung harus menikahi Putri Gambar Inten, putri dari penguasa gaib tersebut.
Pernikahan antara Tumenggung Yudha Negara dan Putri Gambar Inten ini berlangsung pada hari Senin Kliwon bulan Selo. Peristiwa inilah yang kemudian menjadi landasan bagi perayaan Larung Sembonyo.
Tradisi ini adalah ekspresi rasa syukur masyarakat nelayan Prigi atas hasil laut yang melimpah dan keselamatan yang diberikan kepada mereka. Larung Sembonyo menggambarkan mempelai tiruan yang terbuat dari tepung beras ketan.
Dalam rangkaian upacara ini, mempelai tiruan tersebut diletakkan di atas perahu bersama dengan peralatan satang. Selain itu, ada juga mempelai tiruan dari batang pisang yang dihiasi dengan bunga-bunga harum. Sesaji dan seserahan juga menjadi bagian integral dari upacara ini, mirip dengan upacara pernikahan adat Jawa.
Baca Juga: Sejarah Nyadran Dam Bagong: Penghormatan Kepada Adipati Menak Sopal
Makna dan Keberlanjutan Tradisi
Larung Sembonyo bukan hanya sekadar upacara adat, melainkan juga sebuah simbol yang mengingatkan masyarakat akan akar sejarah dan identitas budaya mereka. Tradisi ini menjadi wadah untuk menghormati leluhur, mengungkapkan rasa syukur atas hasil laut yang melimpah, dan memupuk persatuan dalam masyarakat nelayan Prigi.
Walaupun sempat terhenti beberapa waktu karena kondisi politik, Larung Sembonyo berhasil dihidupkan kembali pada tahun 1985. Saat ini, tradisi ini telah menjadi agenda tetap di Trenggalek dan didukung oleh pemerintah daerah.
Mereka hadir untuk memastikan bahwa warisan budaya ini terus lestari dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari identitas masyarakat setempat. Dalam segala keindahan dan keunikan upacara adat Larung Sembonyo, tersimpan cerita dan nilai-nilai luhur yang telah membentuk karakter masyarakat Pantai Prigi.
Sejarah yang mengiringi tradisi ini adalah bukti nyata bahwa budaya adalah jantung dari identitas suatu komunitas, dan Larung Sembonyo adalah jembatan yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan masyarakat Trenggalek.
Khazanah Islam: Awas! Ini Sederet Posisi Seks yang Dilarang dalam Islam, tapi Nomor 2 Sering Dilakukan