Di masa lampau, Indonesia mempunyai sejumlah kerajaan bercorak Hindu atau Budha. Keberadaan kerajaan ini berasal dari pengaruh beberapa wilayah negara luar yang melancong ke wilayah di sekitar Indonesia.
Adanya kerajaan bercorak Hindu-Budha ini memperkaya sejarah Indonesia. Beberapa di antaranya juga merupakan kerajaan besar, yang tidak hanya memiliki wilayah di Tanah Air saja, melainkan juga sampai ke negara-negara yang bukan bagian dari Indonesia.
Salah satu kerajaan terbesar di masanya adalah Kerajaan Singasari, kerajaan yang disebutkan berpusat di wilayah Malang, Jawa Timur.
Baca Juga: Kisah Kerajaan Majapahit (Bag. 4): 7 Peninggalan Kerajaan Majapahit
Sejarah Berdirinya Kerajaan Singasari
Mengutip situs Sampoerna Academy dan sumber lain pada Senin (14/8/2023), Kerajaan Singasari, sebuah kerajaan berlatar belakang Hindu-Buddha yang menghiasi sejarah Jawa Timur, merupakan kelanjutan dari Kerajaan Tumapel.
Sejarah berdirinya Kerajaan Singasari memiliki kisah menarik yang melibatkan tokoh-tokoh penting pada zamannya. Menurut catatan Pararaton, Tumapel awalnya adalah wilayah bawahan dari Kerajaan Kediri.
Pada masa itu, Tunggul Ametung memegang posisi penting sebagai akuwu Tumapel. Namun, takdir tragis menimpanya saat dijatuhkan oleh pengawalnya sendiri, Ken Arok. Ken Arok kemudian naik takhta sebagai raja pertama Tumapel dengan gelar "Sri Ranggah Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi".
Baca Juga: Kisah Kerajaan Majapahit (Bag. 5): 6 Tokoh Berpengaruh Kerajaan Majapahit
Ken Arok tidak hanya merebut takhta, tetapi juga hati Ken Dedes, janda Tunggul Ametung yang tengah hamil. Anak Ken Dedes dan Tunggul Ametung, Anusapati, menjadi bukti cinta terlarang ini.
Sementara itu, Ken Arok memiliki istri lain, Ken Umang, yang melahirkan Tohjaya. Pada tahun 1221, Ken Arok memutuskan untuk melepaskan Tumapel dari cengkeraman Kediri. Puncak perjuangan terjadi pada pertempuran di Desa Ganter pada tahun 1222, yang dimenangkan oleh pihak Tumapel.
Khazanah Islam: Masuk Daftar Nominator Warisan Budaya Tak Benda, Reog Ponorogo Segera Diakui UNESCO