Sistem proporsional terbuka merupakan putusan MK pada tanggal 23 Desember 2008 yang menyatakan bahwa Pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan begitu, MK menyatakan bahwa sistem pemilu yang digunakan adalah sistem suara terbanyak.
Sementara itu pada 2022, pasal yang mengatur sistem proporsional terbuka kembali digugat ke MK. Sebanyak enam orang menjadi pemohon gugatan tersebut, yakni Demas Brian Wicaksono (pengurus PDIP Cabang Probolinggo), Fahrurrozi (bacaleg 2024), Yuwono Pintadi Ibnu Rachman Jaya (warga Jagakarsa, Jakarta Selatan), Riyanto (warga Pekalongan, Jawa Tengah), dan Nono Marijono (warga Depok, Jawa Barat).
Ketua Fraksi Partai Golkar DPR Kahar Muzakir mengatakan, akan ada kekacauan jika MK memutuskan sistem proporsional tertutup diterapkan pada Pemilu 2024. Khususnya yang berkaitan dengan kontestasi para bakal calon legislatif (caleg).
"Bayangkan 300 ribu orang (bakal caleg) itu minta ganti rugi dan dia berbondong-bondong datang ke MK agak gawat juga MK itu. Jadi kalau ada yang coba mengubah-ubah sistem itu orang yang mendaftar sebanyak itu akan memprotes," ujar Kahar.
Juru Bicara MK, Fajar Laksono sempat menjelaskan, gugatan pengujian UU Pemilu menyangkut sistem pemilu belum mencapai tahap putusan berdasarkan agenda persidangan. Perkara itu baru memasuki tahap penyerahan kesimpulan para pihak pada 31 Mei 2023.
"Setelah itu, berdasarkan persidangan dan dokumen-dokumen perkara, baru akan dibahas dan diambil keputusan oleh Majelis Hakim dalam RPH (rapat permusyawaratan hakim)," ujar Fajar.
Selanjutnya, MK akan mengagendakan sidang pengucapan putusan ketika putusan sudah siap. Berdasarkan pantauan Republika hingga Senin siang ini, MK memang belum merilis jadwal putusan perkara yang dimaksud oleh Denny Indrayana.
"Jadi dibahas dalam RPH saja belum," pungkasnya.
Khazanah Islam: Pujian untuk Ambisi Berkelanjutan, Warta Ekonomi Gelar Indonesia Most Visionary Companies Awards 2024