Dalam aturan pemilu, lanjut Saulin, para pekerja itu harus menentukan tempat pemilihan atau TPS di desa tempat tinggalnya sesuai dengan daftar pemilih tetap (DPT) atau daftar pemilih sementara (DPS). Kondisi itu, kata dia, kerap dimanfaatkan para peserta pemilu untuk memberikan fasilitas perjalanan bagi para pekerja atau buruh untuk bisa memberikan hak pilihnya.
“Kenapa kita arahkan ke politik uang? Karena pekerja atau asosiasi pekerja yang kami jumpai dimobilisasi yang punya uang,” kata Saurlin.
Baca Juga: Banyak Parpol Mengangkat Artis sebagai Caleg untuk Mendapatkan Banyak Suara?
“Siapa yang mobilisasi? Tentu kita tahu arahnya, siapa yang bayarin mereka berangkat dari satu tempat ke tempat lain, berbus-bus. Potensinya di situ,” sambung Saurlin.
Dengan adanya fakta itu, kata Saurlin, mobilisasi yang dilakukan oleh oknum peserta pemilu akan menggeser kemurnian pilihan politik dari para pekerja di kawasan industri. Temuan ini, lanjut dia, akan disampaikan kepada penyelenggara pemilu; KPU dan Bawaslu. “Serta kepada kementerian-lembaga terkait agar dicarikan solusinya,” ujarnya.
Saurlin menambahkan, kondisi tersebut mengontaminasi genuinitas pilihan para buruh. Soalnya, kata dia, sedari awal para buruh sudah ada yang mengarahkan, ada yang membayarkan bus, menanggung perjalan pulang ke rumahnya, ke TPS sampai balik lagi.
“Sehingga itu mempengaruhi pilihan-pilihan dari pekerja,” jelasnya.
Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayah menambahkan, potensi politik uang juga terjadi di daerah perbatasan seperti di wilayah Kalimantan Barat (Kalbar) yang berbatasan dengan Malaysia. Yaitu, Entikong, Kalbar yang berbatasan dengan Kuching, Malaysia.
“Kalbar itu praktik politik uangnya adalah praktik jual beli suara dan transaksi politik di wilayah perbatasan, di antara Entikong dan Kuching,” kata Anis.
Anis mengatakan, pada pemilu sebelumnya, politik uang banyak terdeteksi di wilayah-wilayah tersebut. Hal itu menjadi gambaran untuk antisipasi pada pemilu mendatang. “Jadi transaksi itu terjadi berbasis pada pengalaman pada pemilu sebelumnya,” ucapnya.
Anis menambahkan, alasan potensi politik uang tinggi di wilayah perbatasan karena pengawasannya yang minim. Sehingga, kata dia, pihaknya akan memberikan beberapa rekomendasi dari hasil pemantauan Komnas HAM kepada pihak-pihak terkait, terutama KPU.
“Praktik jual beli suara di perbatasan ini perlu kami sampaikan. Karena di wilayah perbatasan itu pengawasannya sangat minimalis,” pungkasnya.
Khazanah Islam: Pujian untuk Ambisi Berkelanjutan, Warta Ekonomi Gelar Indonesia Most Visionary Companies Awards 2024