Menu


Pemikiran Al-Farabi yang Membentuk Lanskap Filsafat Modern

Pemikiran Al-Farabi yang Membentuk Lanskap Filsafat Modern

Kredit Foto: Middle East Eye

Konten Jatim, Depok -

Al-Farabi dikenal sebagai salah satu ilmuwan Muslim tidak hanya dari golongannya saja, melainkan juga ilmuwan dan pemikir di dunia barat sebagai salah satu filsuf paling berpengaruh di masanya. Tidak sedikit juga mereka yang menyandingkan Al-Farabi dengan para tokoh filsuf luar biasa di masanya.

Sebut saja Aristoteles, Plato dan Plotinus. Al-Farabi bahkan dijuluki sebagai “Guru Kedua” filsafat di bawah Aristoteles yang merupakan Guru Pertama, menjadi bukti pemikiran-pemikiran sang filsuf Muslim ini serta membentuk lanskap filsafat modern.

Pemikiran Al-Farabi ini juga dijadikan acuan oleh para ilmuwan barat yang notabene lebih dikenal luas. Menyadur Britannica dan beberapa sumber lain pada Jumat (31/3/2023), berikut beberapa pemikiran Al-Farabi yang hingga kini masih banyak digunakan para akademisi.

Baca Juga: Profil Ibnu Sina, Ilmuwan Paling Berpengaruh dalam Islam

Pemikiran Al-Farabi

Secara dasar, pemikiran filosofis Al-Farabi selain diperoleh dari pengetahuan pribadinya, juga dipupuk dalam warisan ajaran Arab serta pemikiran filsuf barat. Pengabdiannya yang besar kepada Agama Islam adalah mengambil sejumlah pemikiran dari para filsuf ini.

Lebih dari itu, Al-Farabi menunjukkan kepada masyarakat Islam di masa terkait bagaimana pemikiran tersebut dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sedang diperjuangkan umat Islam. Bagi Al-Farabi, filsafat dapat menemukan potensi baru dalam Agama Islam. 

Akan tetapi, Islam sebagai agama dengan sendirinya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan seorang filsuf. Dirinya melihat akal manusia lebih unggul dari wahyu. Agama memberikan kebenaran dalam bentuk simbolis kepada non filsuf, yang tidak mampu memahaminya dalam bentuk yang lebih murni. 

Baca Juga: Deretan Penemuan Ibnu Sina yang Jadi Terobosan Dunia Ilmu Pengetahuan

Sebagian besar tulisan Al-Farabi diarahkan pada masalah penataan negara yang benar. Sama seperti Tuhan mengatur alam semesta, demikian juga filsuf, sebagai manusia yang paling sempurna, mengatur negara; dengan demikian ia menghubungkan pergolakan politik pada masanya dengan perceraian filsuf dari pemerintah.

Jika dirinci lebih mendetail, berikut beberapa ilmu filsafat temuan Al-Farabi yang hingga kini masih dijadikan acuan dalam beberapa cabang ilmu.

Pemikiran Soal Warga Negara

Al-Farabi mengungkapkan kalau adanya negara tidak lepas dari warga negara yang berada di dalamnya. Dengan demikian, dirinya menekankan eksistensi warga negara sebagai elemen paling krusial sebelum hal-hal lain seperti hukum, tata negara dan ideologi.

Kepribadian warga negara di dalam sebuah negara nantinya akan membentuk hal-hal yang sudah disebutkan di atas. Mereka juga berhak memilih seorang pemimpin negara, yaitu seorang yang paling unggul dan paling sempurna di antara mereka.

Baca Juga: Biografi Al-Farabi, Pelopor Ilmu Filsafat Barat dari Timur

Pemikiran Soal Negara

Lebih dari itu, Al-Farabi juga mengkategorikan negara yang baik seperti organ tubuh. Jika organ tubuh berjalan dan berfungsi dengan benar, maka kehidupan seseorang akan berjalan dengan baik pula. Pun halnya dengan negara, di mana dirinya menganalogikan sebagai berikut:

  • Jantung: Organ pokok karena jantung adalah organ pengatur yang tidak diatur oleh organ lainnya.
  • Otak:  Bertugas melayani bagian peringkat pertama dan mengatur organ-organ bagian di bawahnya, yakni organ peringkat ketiga, seperti: hati, limpa, dan organ-organ reproduksi
  • Organ bagian ketiga: Organ terbawah ini hanya bertugas mendukung dan melayani organ dari bagian atasnya

Al-Farabi juga memiliki beberapa kategori soal bentuk-bentuk negara. Bentuk negara yang dimaksud Al-Farabi adalah sebagai berikut:

Baca Juga: Apa Itu Mazhab? Pemahaman Cendekiawan Islam soal Hukum Agama?

  • Negara Utama: Negara yang dipimpin oleh para nabi dan dilanjutkan oleh para filsuf; penduduknya merasakan kebahagiaan.
  • Negara Orang-orang Bodoh: Negara yang penduduknya tidak mengenal kebahagiaan.
  • Negara Orang-orang Fasik: Negara yang penduduknya mengenal kebahagiaan, tetapi tingkah laku mereka sama dengan penduduk negara orang-orang bodoh.
  • Negara yang Berubah-ubah: Negara ini awalnya memiliki pemikiran dan pendapat seperti penduduk negara utama, tetapi kemudian mengalami kerusakan.
  • Negara Sesat: Negara yang dipimpin oleh orang yang menganggap dirinya mendapat wahyu dan kemudian ia menipu orang banyak dengan ucapan dan perbuatannya.

Pemikiran Soal Pemimpin

Terakhir, Al-Farabi mengungkapkan beberapa pemikirannya soal pemimpin yang baik, khususnya untuk sebuah negara. Al-Farabi mengungkapkan kalau pemimpin adalah mereka yang mempunyai kemampuan fisik dan jiwa.

Baca Juga: Ini Perbedaan Antara Filsafat Dengan Ilmu Fikih Menurut KH Ahmad Zahro

Pemimpin yang tidak memiliki kualitas dan berada di atas pemerintahan berpotensi untuk menghancurkan sebuah negara. Pemimpin tidak berkualitas ini sama saja dengan menjalankan negara tanpa pemimpin atau raja.

Khazanah Islam: Masuk Daftar Nominator Warisan Budaya Tak Benda, Reog Ponorogo Segera Diakui UNESCO