Kita sering mendengar istilah takhrij dalam khazanah ilmu hadits. Secara bahasa, ini bermakna menyatukan dua hal yang berbeda. Takhrij juga berarti istinbat, tadrib, atau taujih.
Dalam ilmu hadits, takhrij artinya upaya untuk mengetahui sumber kitab utama suatu hadits, menelusuri dan menilai rangkaian silsilah para periwayat, menjelaskan tingkatannya, serta mempertimbangkan apakah hadits tersebut dapat dijadikan suatu dalil.
Takhrij hadits sangatlah diperlukan. Mengutip laman Republika, jika menemukan hadits yang berbunyi, "Agama yang paling dicintai Allah adalah agama yang toleran." Matan (isi) hadits tersebut tidak menjelaskan siapa sumbernya dan kemungkinan hadits itu potongan dari sebuah hadits yang panjang.
Baca Juga: Apa Itu Takhrij Hadits? Mengemukakan Hadits Berdasarkan Sumber
Dibutuhkan ilmu takhrij hadits untuk menelusuri darimana potongan kalimat hadits itu berasal.
Menurut Ensiklopedi Islam, ulama membagi beberapa metode dalam ilmu takhrij hadits. Petama, takhrij berdasarkan awal kata dari isi hadits. Demi melakukannya, harus mengetahui seluruh atau minimal awal dari matan hadits terlebih dahulu.
Yang juga penting adalah huruf awal dari kata yang paling awal dalam matan hadits tersebut.
Keberadaan kitab takhrij yang disusun berdasar metode alfabetis ini begitu penting. Beberapa ulama menuliskan kitab takhrij dengan model ini, seperti al-Jami as-Sagir min hadits al-Basyir an-Nazir, al-Farh al-Kabir fi Damni az-Ziyadah ila al_jami as-Sagir, dan Jam'u al-Jawami' karya Imam Suyuti.
Ada pula Kanz al-Haqaid fi hadits Khair al-Khalaiq karya Abdur Rauf bin Tajuddin Ali.
Metode kedua ialah mendasarkan pada lafal-lafal matan hadits. Metode ini dilakukan dengan cara menelusuri hadits berdasarkan huruf awal kata dasar pada lafal-lafal yang ada pada matan hadits, baik itu berupa kata benda maupun kata kerja.
Baca Juga: Apa Itu Rawi? Periwayat yang Menyampaikan Hadits dari Masa ke Masa
Dalam metode ini huruf tidak dijadikan pegangan.
Beberapa kitab takhrij yang menggunakan metode ini antara lain, al-Mu'jam al-Mufahras li Alfaz al-hadits an-Nabawi karya AJ Weinsinck yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Dr Muhammad Fu'ad Abdul Baqi. Muhammad Fu'ad Abdul Baqi juga menulis Fihris Sahih Muslim (Indeks Shahih Muslim).
Metode ketiga, yakni takhrij menggunakan perawi paling atas. Menelusuri hadits dengan cara ini harus mengetahui dulu perawi paling atas dari hadits tersebut. Kitab-kitab yang memuat hadits dengan metode ini ialah Musnad Imam Ahmad karya Imam Ahmad, Atraf as-Sahihain karya Abu Mas'ud Ibrahim bin Muhammad, Atrar Kutub as-Sittah karya Syamsuddin Abu al-Fadl.
Baca Juga: Apa Itu Hadits Qudsi? Hadits Yang Disampaikan Lewat Mimpi
Metode keempat ialah berdasarkan tema. Penelusuran dilakukan berdasar tema bahasan hadits apakah hukum, fikih, tafsir, atau yang lain. Contoh kitab yang memakai metode ini, yakni Kanz al-Ummal fi Sunan al-Aqwal wa al-Af'al karya al-Burhanpuri, al Mughni Haml al-Asfar fi Takhrij ma fi al-Ihya min al-Akhbar karya al-Iraqi.
Terakhir ialah metode berdasar sifat lahir hadits. Cara penelusuran ini dilakukan, misalnya pada hadits mutawatir, qudsi, mursal, dan maudu. Para ulama mengumpulkan hadits-hadits mutawatir dalam satu kitab seperti al-Azhar al-Mutanasirah fi al-Akhbar al-Mutawatirah karya Imam Suyuti.
Baca Juga: Sederet Contoh Dalil Naqli dalam Al-Qur’an dan Hadits
Adapun, kitab yang memuat hadits qudsi di antaranya al-Ittihafat as-Sunniah fi al-Ahadits al-Qudsiah karya al-Madani.