Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Hidayat Nur Wahid memprotes putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu. Ia menilai ini sebagai pelanggaran terhadap Konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga harus dikoreksi oleh pengadilan di atasnya.
“Putusan PN Jakarta Pusat tersebut bukan hanya tidak memiliki dasar hukum yang kuat, tetapi terutama juga secara jelas melanggar UUD NRI 1945 dan UU Pemilu. Saya mempertanyakan kompetensi hakim yang memutus perkara tersebut. Wajarnya Komisi Yudisial memeriksa Hakim yang memerintahkan penundaan Pemilu itu,” tukasnya melalui siaran pers di Jakarta, Kamis (2/3/2023).
Baca Juga: Hakim PN Jakpus Dicurigai jadi Bagian Kelompok yang Gencar Ingin Tunda Pemilu
HNW sapaan akrabnya menjelaskan bahwa UUD NRI 1945 secara tegas menyatakan bahwa Pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 22E ayat (1) UU Pemilu yang berbunyi, ‘Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.’
“Putusan PN Jakarta Pusat yang memerintahkan menunda pemilu selama 2 tahun 4 bulan 7 hari sejak diucapkannya putusan, tidak sesuai dengan ketentuan Konstitusi,’karena Pemilu yang akan datang baru bisa diselenggarakan pada akhir Juli tahun 2025. Itu jelas melanggar ketentuan UUD bahwa Pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Dengan amar putusan PN itu, Pemilu tidak bisa diselenggarakan 5 tahun sekali, karena Pemilu terakhir dilaksanakan pada 2019, maka menjadi harga mati bahwa pemilu berikutnya diselenggarakan pada tahun 2024, bukan tahun 2025 sebagaimana amar putusan PN itu,” jelasnya.
Apalagi, lanjut HNW, dengan ditundanya Pemilu hingga Juli tahun 2025 sebagaimana amar putusan PN, akan menimbulkan pelanggaran ketentuan Konstitusi lainnya terkait masa jabatan Presiden, yang sesuai dengan pasal 7 UUD NRI 1945 akan selesai pada Oktober 2024.
Sehingga kalau Pemilu ditunda hingga Juli 2025, akan terjadi kekuasaan Eksekutif (Presiden dan para Menteri) dan Legislatif (DPR, DPD dan MPR) yang tidak memiliki basis legitimasi konstitusional.
“Bila demikian, maka akan terjadi chaos Politik yang membahayakan eksistensi dan kelanjutan Negara Kesatuan Republik Indonesia,” tukasnya.
Baca Juga: Tak Miliki Wewenang Tunda Pemilu, Mantan Ketua MK: Hakim PN Jakpus Layak Dipecat!
Selain itu, HNW juga menilai bahwa PN Jakarta Pusat seharusnya tidak memiliki kewenangan atau kompetensi absolut dalam menangani perkara tersebut. Ia merujuk kepada aturan dalam Pasal 470 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang mengarahkan sengketa proses pemilu itu diselesaikan di Pengadilan Tata Usaha Negara, bukan di Pengadilan Negeri (peradilan umum).
“Di ketentuan tersebut secara spesifik diatur apabila ada sengketa antara KPU dan Parpol terkait dengan verifikasi partai politik, maka diselesaikan di PTUN. Sangat jelas dan tegas aturannya seperti itu. Jadi pengadilan negeri seharusnya tidak memiliki kewenangan mengadili perkara tersebut apalagi dengan amar putusan yang membuat gaduh, yang potensial ditunggangi oleh mereka yang masih bermanuver untuk memperpanjang masa jabatan Presiden dengan penundaan Pemilu. Maka wajar bila para Pakar HTN, Mantan Ketua MK, dan aktivis yang terhimpun dalam Perludem tegas menolak keputusan Hakim PN Jakarta Pusat itu,” paparnya.
Khazanah Islam: Pujian untuk Ambisi Berkelanjutan, Warta Ekonomi Gelar Indonesia Most Visionary Companies Awards 2024