Menu


Seperti Apa Mushaf Al-Qur'an dan Peredarannya di Indonesia?

Seperti Apa Mushaf Al-Qur'an dan Peredarannya di Indonesia?

Kredit Foto: dompetdhuafa.org

Konten Jatim, Jakarta -

Mushaf adalah lembaran yang digabungkan atau dijilid menjadi satu kesatuan. Kesatuan inilah yang berisi ayat-ayat Al-Qur’an yang sebelumnya digabung hingga satu dengan rapi. Di Indonesia, mushaf apa saja yang beredar?

Perlu diketahui, mushaf dan Al-Qur’an berbeda. Mushaf ialah media di mana ayat-ayat Al-Qur’an dituliskan dan digabungkan, sedangkan Al-Qur’an sendiri merupakan buku kitab non-material, sejatinya ia tak bisa disentuh.

Baca Juga: 6 Dalil Talak dalam Al-Qur'an, Mulai dari Masa Iddah Sampai Rujukan

Di Indonesia, saat ini mushaf yang beredar dan umum kita kenal punya beberapa format berbeda. Menurut Tafsir web, misalnya, ada format 15 baris, 16 baris, hingga 18 baris. Meski begitu, mushaf yang paling umum kita kenal ialah yang berformat 13 baris.

Tercantum secara resmi dalam laman Departemen Agama RI (saat ini Kemenag), ada tiga jenis mushaf standar Indonesia:

  • Mushaf Al-Qur’an standar Usmani

Baca Juga: Swedia Ngeri Warganya Di Turki Diamuk Massa Gegara Pembakaran Al-Qur'an di Stockholm

Bicara tentang sejarah dari mualaf utsmani, ketika banyak yang menganggap mushaf Al-Qur’an ditulis pada masa khalifah Utsman bin Affan, nyatanya penulisan mushaf telah dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW.

Namun, setelah beliau wafat, penulisan dilanjutkan di pelepah daun kurma, batu putih yang halus dan tipis. Hal ini menyebabkan tak banyak muslim yang tahu bahwa Al-Qur’an yang dibaca hingga kini berasal dari ayat Al-Qur’an yang berserakan.

Pasalnya, penulisan saat itu menyebabkan Al-Qur’an dibaca dengan berbagai dialek yang berbeda.

Baca Juga: Sosok Dajjal yang Disebutkan Al-Quran, Muncul di Akhir Zaman

Ayat-ayat itu kemudian dikumpulkan dan dibukukan pada zaman Khalifah Utsman bin Affan, dan saat ini disebut sebagai mushaf Usmani. Mushaf ini mulai ditulis pada tahun 25 Hijriyah atau 646 Masehi. 

  • Mushaf Standar Bahriyah

Mushaf standar Bahriyah merujuk pada satu mushaf dari Istanbul Turki yang diterbitkan oleh “Matba’ah Bahriyah”. Ini merupakan badan percetakan milik Angkatan Laut kesultanan Usmaniyah Turki, yang banyak mencetak naskah keagamaan termasuk mushaf Al-Qur’an.

Baca Juga: Kunci Sukses dalam Alquran, Simak Penjelasan Ustadz Adi Hidayat

Spesifikasi mushaf yang satu ini memakai sistem penulisan ayat pojok, yakni setiap sudut halaman menunjukkan akhir ayat. Mushaf ini disebut ayet-berkenar di Turki. Mushaf ini pun telah tersebar di Indonesia sebelum ada standarisasi, terlebih di lingkungan pesantren Al-Qur’an.

Ini tak terlepas dari peran KH M Arwani Amin Kudus yang mereproduksi mushaf terbitan Turki ini sepulang dari ibadah haji pada 1969/1970. Kemudian, mushaf itu diperbanyak dan digunakan oleh santri penghapal Al-Qur’an karena memudahkan dalam proses penghapalan.

Selanjutnya, mushaf ini dikenal sebagai Mushaf Pojok Menara Kudus.

Baca Juga: Ustaz Adi Hidayat Ungkap Obat Kecemasan Menurut Alquran

  • Mushaf Standar Braille

Sejak berabad lalu, penelusuran terhadap penulis mushaf di Indonesia telah ada. Namun, setiap mushaf yang berasal dari Aceh hingga Ternate, bahkan dari Raja Ampat di Papua, tak mencantumkan nama penulisnya, sehingga penulis mushaf ini tak bisa dilacak.

Mengutip Republika, Al-Qur’an Braille merupakan mushaf yang khusus diperuntukkan bagi penyandang tunanetra. Mengandalkan jari jemari, mereka akan meraba huruf demi huruf dalam lembaran Al-Qur’an ini.

Kode Braille terbentuk dari enam titik timbul yang tersusun dalam dua kolom berbentuk empat persegi panjang, masing-masingnya berisi tiga titik seperti susunan dalam kartu domino. Adapun kehadirannya tak terlepas dari sejarah penyalinan mushaf Al-Qur’an Braille di indonesia. 

Baca Juga: Kekejaman Firaun Digambarkan dalam Alquran

Dalam fase duplikasinya dimulai setelah seorang tunanetra asal Yogyakarta, Supardi Abudshomad (w. 1975), berhasil mengungkap sistem tulisan yang digunakan dalam Al-Qur’an Braille Yordan yang ia terima dari seorang pegawai Departemen Sosial pada 1963.