Hari ini di tahun 2001 ialah momen menegangkan yang melibatkan Presiden ke-4 Indonesia, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dengan Sidang Paripurna sampai demonstrasi belasan ribu masyarakat untuk melengserkannya.
Tuntutan ini datang soal skandal Buloggate dan Bruneigate yang terjadi selama masa kepresidenan Gus Dur. Ia dituduh menyelewengkan dana Yayasan Bina Sejahtera (Yanatera) Badan Urusan Logistik (Bulog) yang awam disebut Bulog Gate.
Soal Bruneigate, Gus Dur juga dituduh terlibat menilep dana sumbangan USD2 juta dari Sultan Brunei Darussalam Hassanal Bolkiah untuk rakyat Aceh. Ini jadi kecurigaan lantaran penerimaan sumbangan itu tak melalui jalur legal dan tak ada catatan pembagian sumbangannya di Aceh.
Namun, dengan adanya dua skandal tersebut, berbagai literatur buku terkait membeberkan akar lain dari tuntutan lengsernya Gus Dur dari berbagai pihak. Berbuntut pada 29-30 Januari 2001 yang sebenarnya tak terjadi secara instan, akarnya ialah skeptisnya banyak kalangan politik soal prospek kepemimpinan Gus Dur.
Masa-masa itu adalah transisi menuju demokrasi yang penuh oleh harapan yang mesti dipikul: akhir krisis ekonomi, reformasi militer dan birokrasi Orde Baru, sampai hubungan antarkelompok masyarakat terpecah yang membaik.
“Mereka semua merasa bahwa hal ini harus dapat dicapai dalam waktu enam bulan atau setahun ia menjabat sebagai presiden. Harapan-harapan seperti itu benar-benar tak mungkin terealisasi,” tulis Barton dalam “Biografi Gus Dur” (2017:396).
Meski disebut Barto seorang operator politik yang mahir, Gus Dur nyaris sendirian dalam situasi menekan itu. Artikel Tirto.id menyebut langkah politinya kerap dianggap “ugal-ugalan”, seperti ketika memecat Wiranto atau mengizinkan orang Papua mengibarkan bendera bintang kejora.
Baca Juga: Mantan Napi Korupsi Daftar Jadi Calon DPD, PSI Beri Penolakan Tegas
Ini meresahkan elite politik yang telah skeptis sejak awal.
Khazanah Islam: Pujian untuk Ambisi Berkelanjutan, Warta Ekonomi Gelar Indonesia Most Visionary Companies Awards 2024