Menu


DPR Minta Rapat Luring, Sidang Sistem Pemilu di MK Ditunda

DPR Minta Rapat Luring, Sidang Sistem Pemilu di MK Ditunda

Kredit Foto: Istimewa

Konten Jatim, Jakarta -

Sidang berikutnya dalam sistem pemilihan umum di Mahkamah Konstitusi (MK) yang direncanakan kemarin (17 Januari) kembali ditunda. Penundaan itu karena permintaan DPR agar sidang uji dilakukan secara luring atau tatap muka bukan daring. 

Sedianya, kemarin MK akan mendengar keterangan dari DPR, Pemerintah dan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun, MK menerima surat resmi dari DPR pada Selasa, 17 Januari pagi. Isinya, memohon penundaan sidang. MK pun lantas merespons dengan menggelar rapat permusyawaratan hakim (RPH).

Baca Juga: Mahfud MD: Mahkamah Konstitusi Tidak Mengatur Sistem Pemilu Terbuka Atau Tertutup

"MK dalam rapat pemusyawaratan hakim mengabulkan permohonan (sidang luring)," ujar Ketua MK Anwar Usman.

Karena permintaan itu mendadak, lanjut Anwar, pihaknya tidak bisa menggelar persidangan hari itu juga. Sebab, para pihak belum mendapat pemberitahuan menyangkut perubahan sidang dari virtual ke luring. Atas dasar itu, dalam RPH diputuskan untuk menunda persidangan. Yakni, 24 Januari 2023 atau Selasa pekan depan.

"Karena MK harus memberitahu kepada pihak lain seperti presiden, pemohon, termasuk pihak terkait," imbuhnya.

Selain itu, Anwar menyebut MK juga perlu mendesain ruangan sesuai protokol kesehatan. Mengingat, sudah hampir dua tahun persidangan dilakukan di MK dilaksanakan virtual.

"Cara ngatur tempat duduk, pengamanan, dan yang lebih penting adalah memberi tahu pihak terkait," terangnya.

Baca Juga: Fraksi PDIP DPR Ingin Bubarkan Mahkamah Konstitusi

Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara Denny Indrayana meminta agar MK tidak memutuskan sistem apa yang digunakan dalam Pemilu. Dia menyarankan agar MK menyerahkan pilihan sistem kepada pembentuk Undang-undang. Pernyataan itu disampaikan Denny dalam diskusi virtual yang digelar PSHK Universitas Islam Indonesia (UII), kemarin.

Dalam pandangan Denny, sistem terbuka atau tertutup merupakan pilihan kebijakan (open legal policy). Keduanya sama-sama konstitusional. Dalam UUD 1945 tidak menyebut secara spesifik.

"Jadi, tidak bisa MK mengambil peran legislasi itu dari Presiden dan DPR," ungkap mantan wakil menteri hukum dan HAM itu.

Denny menambahkan, pemilihan sistem terbuka atau tertutup tidak terlalu berpengaruh. Dia menyebut, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan.

Karena itu, dia menyarankan agar kekurangan atas sistem yang berlaku sekarang diperbaiki. "Bagi saya, yang paling penting tidak ada politik uang," imbuhnya.

Baik sistem terbuka maupun tertutup, lanjut dia, keduanya membuka transaksi elektoral. ’’Dan itu yang selama ini memicu perilaku korupsi,’’ tegasnya.

Khazanah Islam: Masuk Daftar Nominator Warisan Budaya Tak Benda, Reog Ponorogo Segera Diakui UNESCO

Artikel ini merupakan kerja sama sindikasi konten antara Konten Jatim dengan Fajar.