Baru-baru ini bergema berita duka dari keluarga Wiji Thukul, penyiar sekaligus aktivis era Orde Baru. Pasalnya, sang istri, Mbak Sipon yang bernama asli Siti Dyah Sujirah dikabarkan meninggal dunia pada Kamis (5/1/2023).
Selain menjadi sosok istri yang dengan penuh mendukung perjuangan suaminya dan pekerja keras, Mbak Sipon juga dikenal sebagai pembela Hak Asasi Manusia (HAM) dan Pejuang Keadilan dan bersama Wiji, ia dianggap sebagai pahlawannya rakyat kecil.
Sosok Mbak Sipon mengingatkan kita akan wanita-wanita lain yang dengan semangat memperjuangkan hak-hak manusia. Adapun pada 2020, tepatnya 28 Oktober 2020, puncak peringatan Hari Lahir Komisi Nasional Perempuan memberikan penghormatan terhadap 11 wanita pembela HAM.
Baca Juga: Ini Perjuangan Jatuh Bangun Sipon Istri Wiji Thukul yang Telah Tiada
Berikut 11 sosok wanita pembela HAM yang seluruhnya telah berpulang tersebut, disadur dari berbagai sumber:
1. Estu Fanani
Sosok Estu yang wafat pada 2020 ini dikenal karena kegigihannya mendukung korban kekerasan agar bisa mendapatkan keadilan. Alumni Fakultas Perikanan Universitas DIponegoro, ia pernah berkiprah juga di LBH APIK Jakarta. Sayangnya, penyakit sindrom Mielodisplasia membuatnya berpulang pada usia 46 tahun.
2. Ratih Purwarini
Sebagai relawan, dokter Ratih bergabung dengan Komnas Perempuan sebagai relawan hingga 2017. Ia juga berjasa mendirikan lembaga layanan bagi perempuan korban kekerasan dengan nama “Akara Perempuan”. Nahas, ia meninggal karena tertular Covid-19 saat masih menjabat sebagai Direktur RS Duta Indah Jakarta Utara.
3. Rosniati
Panggilan akrabnya Nia, ia merupakan perempuan pembela HAM dari Palu, Sulawesi Tengah. Dirinya aktif menyuarakan hak-hak perempuan, seperti petani, nelayan, buruh migran, adat, miskin kota dan lainnya. Rosniati meninggal karena kanker payudara.
4. Nurhidayah Arsyad
Sejak mahasiswa, wanita yang dikenal dengan panggilan Nur ini telah aktif sebagai aktivis. Kelahiran Sumbawa 1975, ia bergabung di Solidaritas Perempuan Jabodetabek selama 10 tahun. Ia juga bekerja di Sajogyo Institut dan sebagai Ketua Pendidikan dan Pengorganisasian Nelayan Perempuan DPP Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) hingga akhir hayatnya pada 2019.
5. Den Upe Rambelayuk
Ia merupakan salah satu pendiri organisasi masyarakat adat terbesar di Indonesia, AMAN, pada 1999. Sejak tahun 80-an, ia telah berjuang membentuk AMAN. Ia menjadi koordinator lapangan pendampingan kesehatan reproduksi perempuan di Toraja bersama YLK Sulawesi Selatan.
6. Lily Dorianty Purba
Lily konsisten memperjuangkan kesetaraan gender selama 25 tahun, bersamaan dengan perempuan dan HAM, pekerja migraine, serta pemberdayaan komunitas dan advokasi. Lily juga merupakan Komisioner Komnas Perempuan (2003-2006) yang fokus pada pendidikan dan pelatihan tentang HAM dan kekerasan berbasis gender.
7. Yusan Yeblo
Tokoh perempuan Papua yang dipanggil Mama Yusan ini aktif di berbagai organisasi. Salah satunya, ia merupakan pendiri Forum Kerja Sama masyarakat Irian Jaya (Foreri) dan Wakil Ketua Solidaritas Perempuan Papua tahun 2007.
8. Dr. Tapi Imas Ihromi Simatupang
Seorang intelektual dan aktivis perempuan, Tapi aktif membela berbagai adat istiadat Indonesia. Bahkan, ia dijuluki The Mother of Indonesian Feminist Studies yang turut serta mendirikan Convention Watch, organisasi yang mengupayakan penegakan hak asasi perempuan dan kesetaraan gender.
9. Eyang Sri Sulistyawati
Wafat di usia 78 tahun, Eyang Sri dikenal sebagai penyintas 65 yang berjuang sampai akhir hayat. Pada 1950-an ia jadi jurnalis, dan pernah dipenjara selama 11,5 tahun di Bukit Duri. Hari-harinya penuh kekerasan, intimidasi, dan diskriminasi meski akhirnya bebas.
10. Cut Risma Aini
Wanita kelahiran 20 September 1972 ini aktif memperjuangkan hak perempuan di berbagai konteks. Misalnya, ia pernah jadi Kepala Divisi Penguatan Organisasi Sekretariat Nasional Solidaritas Perempuan sejak 2004-2006, dan ke Aceh demi memperkuat perempuan korban gempa dan tsunami.
11. Christina Sumarmiaty
Baca Juga: Profil Mischa Hasnaeni Moein, Wanita Emas Yang Bikin Geger
Selain jadi perempuan pembela HAM, ia juga salah satu korban kekerasan seksual dan penganiayaan oleh polisi militer tahun 1967. Christina aktif di berbagai kegiatan usai runtuhnya rezim Orde Baru. Tahun 2015, ia hadir di International People’s Tribunal 65 di Belanda.
Khazanah Islam: Masuk Daftar Nominator Warisan Budaya Tak Benda, Reog Ponorogo Segera Diakui UNESCO