Praxis sebagai agensi public relations (PR) dan public affairs (PA) kembali menggelar survei independen ketiga. Pada survei kali ini mengusung tajuk “Aspirasi dan Preferensi Mahasiswa pada Pemilu 2024”. Sebagai kelanjutan dari riset yang dilaksanakan pada April dan Agustus 2023, survei dilakukan dengan pendekatan mixed method, menggabungkan metode kuantitatif dan kualitatif.
Riset kuantitatif survei dilaksanakan pada 1-8 Januari 2024 kepada 1.001 mahasiswa dengan rentang usia 16-25 tahun di 34 provinsi di Indonesia. Praxis kemudian berkolaborasi dengan Election Corner (EC) Fisipol UGM untuk mengkaji temuan kuantitatif dengan melakukan riset kualitatif pada 15 Januari 2024.
Riset berformat Focus Group Discussion (FGD) ini melibatkan empat akademisi dan mahasiswa perwakilan Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Mulawarman (Unmul), dan Universitas Nusa Cendana (Undana).
Riset menemukan sejumlah catatan. Kandidat dengan latar belakang politisi mendapatkan preferensi tertinggi dari mahasiswa (20,88%), sementara figur publik/selebriti terendah (0,50%). Media massa online menjadi sumber utama informasi politik mahasiswa (66,43%), sementara iklan out of home (OOH) seperti baliho kurang relevan (21,08%).
Saat melihat kandidat di media sosial, mahasiswa paling tertarik pada pernyataan kandidat (66,43%) dan kemampuan public speaking-nya (63,14%). Ini sejalan dengan preferensi kegiatan kampanye yang paling berpengaruh, yaitu debat terbuka (69,93%).
Salah satu temuan menarik dari #PraxiSurvey ketiga ini berkaitan dengan praktik politik uang (money politics). Sebanyak 42,96% mahasiswa menyatakan akan menerima uang namun tidak memilih kandidat. Selanjutnya, 20,08% mahasiswa akan menerima uang dan akan memilih kandidat, sementara 10,99% lainnya menyatakan tidak akan menerima uang dan tidak akan memilih kandidat.
Director of Public Affairs Praxis PR dan Wakil Ketua Umum Public Affairs Forum Indonesia (PAFI) Sofyan Herbowo mengatakan riset menunjukkan pandangan mahasiswa yang independen.
“Fakta membuktikan bahwa praktik politik uang tidak mampu memengaruhi pilihan mereka. Saya berharap survei ini dapat mendorong mahasiswa untuk memilih dengan bijak demi menjaga keberlanjutan ekosistem demokrasi yang sehat," kata Sofyan dalam paparannya.
Menariknya, analisis berdasarkan Socioeconomic Status (SES) menunjukkan bahwa semakin tinggi SES, praktik politik uang semakin tidak efektif. Data melaporkan 15,94% dari upper class, 19,89% dari middle class, dan 29,21% dari lower class mengaku akan menerima uang dan memilih kandidat yang diminta.
Di sisi lain, 47,51% dari upper class, 41,98% dari middle class, dan 27,12% dari lower class mengatakan akan menerima uang namun tidak memilih kandidat yang diminta.
Sementara itu, 13,07% dari upper class, 10,46% dari middle class, dan 9,87% dari lower class menyatakan akan menerima uang namun tidak memilih kandidat yang diminta.
Temuan lainnya, 65,73% mahasiswa pesimis bahwa praktik politik uang dapat dihilangkan dalam pelaksanaan Pemilu di Indonesia.
Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM Arga Pribadi Imawan memaparkan hasil kualitatif yang menjelaskan alasan mengapa mahasiswa masih menerima uang meskipun mayoritas tidak akan memilih.
"Di tengah asumsi tentang kegemaran anak muda menerima politik uang, anak muda akan cenderung menerima uang serta memilih kandidat yang memberikan uang, hasil survei justru menunjukkan tentang anak muda yang masih rasional dalam menentukan pilihannya,” kata Arga.
“Pemilu diibaratkan seperti ‘pesta’, sehingga memberikan dan menerima uang maupun barang dianggap sebagai sesuatu yang harus atau wajar untuk dilakukan,” sambungnya.
Saat FGD berlangsung, salah satu peserta menyebut mahasiswa pesimis karena politik uang di Indonesia terlalu masif. Ia menambahkan bahwa di satu sisi mahasiswa cenderung pesimis terhadap upaya memberantas politik uang, namun mereka juga tergolong toleran. Diskusi menyoroti sikap pesimis dan negatif terhadap politik uang seharusnya tidak sejalan dengan sikap toleran terhadap praktik tersebut.
Content Creator dan Founder Malaka Project Ferry Irwandi menambahkan bahwa mahasiswa melihat praktik politik uang dengan sudut pandang kritis.
“Anak muda menyadari bahwa imbalan finansial sebesar Rp200.000 untuk lima tahun ke depan tidak sebanding dengan nilai-nilai karakter dan program kerja kandidat. Risiko politik uang lebih terasa pada masyarakat menengah ke bawah yang berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Mereka harus menghadapi realita dan tantangan ekonomi yang mungkin tidak dihadapi oleh kelas sosial lainnya," papar Ferry.
Melalui riset ini, Ketua Departemen Politik dan Pemerintahan serta koordinator EC Fisipol UGM Abdul Gaffar Karim mengatakan pentingnya memahami aspirasi mahasiswa yang secara strategis berpengaruh pada hasil pemilu, mengingat data Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjabarkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) usia muda mencapai 53%.
“Saya sangat mengapresiasi kolaborasi yang terjalin antara Praxis dan EC dalam riset ini. Semoga hasil riset dapat bermanfaat bagi masyarakat dan para pemangku kepentingan di Pemilu tahun ini,” jelasnya.
Lebih lanjut Sofyan menyampaikan bahwa #PraxiSurvey kali ini dapat menjadi acuan bagi kandidat untuk meninggalkan praktik politik uang yang tidak efektif dalam meraih kemenangan. Kandidat diimbau untuk fokus pada penyampaian visi, program kerja, dan karakter yang meyakinkan untuk memenangkan hati pemilih, khususnya pemilih muda.
Khazanah Islam: Pujian untuk Ambisi Berkelanjutan, Warta Ekonomi Gelar Indonesia Most Visionary Companies Awards 2024