Psikolog dari Universitas Airlangga (Unair) Afif Kurniawan menyoroti komentar warganet di media sosial terhadap kekalahan Timnas Indonesia U-17 pada Piala Dunia U-17 2023.
Pasalnya, gagalnya Timnas Indonesia lolos ke babak 16 besar turnamen tersebut semakin memicu netizen untuk melontarkan komentar buruk terhadap pemain dan pelatih.
Afif menegaskan bahwa kritik dan komentar negatif adalah dua hal yang berbeda. Dalam dunia profesional, khususnya bidang olahraga, penyampaikan kritik adalah suatu hal yang normal dan wajar.
Namun, di laga Piala Dunia U-17 ini, para atlet justru lebih banyak menerima komentar negatif daripada kritik. Bahkan, komentar negatif yang muncul bersifat tidak wajar sehingga seringkali mengganggu kestabilan psikologis pemain.
“Mereka (atlet Timnas Indonesia U-17, Red) adalah pemain yang profesional di usia yang sangat muda. Tapi, kalau komentar negatif itu lebih banyak daripada kritik, kami khawatir secara iklim mereka tidak berjalan seiring dengan apa yang dikembangkan dalam tim,” imbuh psikolog Timnas Indonesia itu.
“Kami di sini berusaha untuk mengelola growth mindset mereka. Untuk itu, mereka membutuhkan lingkungan yang kondusif, lingkungan yang membuat mereka tumbuh, lingkungan yang secara fair bisa menyajikan kritik konstruktif. Bukan komentar negatif yang menjatuhkan, memalukan, atau mengerdilkan apa yang mereka lakukan di usia muda,” tegasnya.
Pertimbangkan Dua Poin Ini Sebelum Berkomentar
Ahli psikologi klinis itu menjelaskan bahwa ada dua poin penting yang harus netizen pertimbangkan ketika hendak menyampaikan kritik.
Pertama, para atlet membutuhkan sudut pandang orang ketiga untuk menjadi kritik atau masukan. Kedua, mereka membutuhkan ruang untuk mendapatkan pengalaman keberhasilan.
Dalam hal ini, Afif mengimbau netizen untuk memberikan kritik yang sifatnya solutif dan konstruktif. Kritik sangat penting untuk mendorong para atlet mencapai pengalaman keberhasilan mereka di usia muda.
Selain itu, mereka juga harus diberi ruang dan kesempatan yang luas untuk berproses. Dengan begitu, para atlet bisa menikmati proses jatuh bangun berkarier di dunia sepak bola.
“Pengalaman keberhasilan ini bukan selalu soal medali, trofi, ataupun title juara. Pengalaman keberhasilan di sini adalah mereka bisa disiplin ketika latihan, mengelola konflik dalam kelompok, berkomunikasi dengan baik dalam tim, mengelola ketenangan. Itu semua adalah pengalaman keberhasilan,” ujar pria kelahiran Pasuruan itu.
“Mereka juga tidak anti kritik. Setiap hari, mereka juga mendapatkan kritik dari cara mereka berlatih. Mereka akan berkembang seiring dengan kritik itu. Tapi apa yang berbeda? Kritik semuanya berdasar pada tim. Semuanya terukur karena data, parameter, dan seterusnya,” sambungnya.
Jadi Lingkungan Sehat Bagi Para Atlet
Terakhir, dosen pengampu mata kuliah Dasar Intervensi Psikologis itu mengajak masyarakat untuk membersamai dan mendukung para atlet dengan menjadi lingkungan yang sehat bagi mereka.
Menurutnya, ada fenomena yang unik di mana ketika berkontak langsung dengan masyarakat, para atlet tidak menerima kritik apa pun. Namun, ketika di dunia maya, mereka justru menerima banyak komentar negatif bahkan makian.
Dari hal itu, Afif mengimbau netizen untuk selalu menggunakan dan mengedepankan empati ketika hendak memberikan komentar. Ia meyakini, para atlet memiliki ketangguhan terhadap hal-hal yang bersifat pressure. Selain itu, mereka juga memiliki keterampilan sosial dan pengelolaan stres yang baik.
“Alih-alih membuang energi yang besar untuk mencaci maki, kalau ada hal-hal yang sifatnya kekecewaan, maka fokuskanlah pada pemberian kritik dengan santun dan berdasar pada fakta. Mari dukung perkembangan pemain muda sepak bola di Indonesia dengan cara konstruktif dan belajar mencintai tanpa syarat untuk mendukung mereka,” pungkasnya.
Khazanah Islam: Masuk Daftar Nominator Warisan Budaya Tak Benda, Reog Ponorogo Segera Diakui UNESCO