Menu


De Djawatan Banyuwangi, Hutan The Lords of the Rings-nya Indonesia

De Djawatan Banyuwangi, Hutan The Lords of the Rings-nya Indonesia

Kredit Foto: Wikimedia Commons/Jeremyyohanes2

Konten Jatim, Surabaya -

Film layar lebar The Lords of the Rings merupakan film trilogi fenomenal karya sutradara Peter Jackson. Film ini banyak memberi kesan salah satunya soal tempat tinggal kaum Elven yang memiliki panorama luar biasa.

Hutan tempat tinggal kaum Elven itu juga ada di dunia nyata. Tepatnya di Taman Nasional Kaitoke di North Island, Wellington, Selandia Baru. Taman nasional seluas 2.500 hektare ini dalam film dikisahkan sebagai Rivendell.

Begitu juga penggambaran hutan lebat Mirkwood di Dunia Tengah pada kisah versi novel The Lord of The Rings karya sastrawan legendaris Inggris, John Ronald Reuel Tolkien, yang hidup antara 1892-1973.

Tolkien menggambarkan lebatnya Mirkwood seperti Puzzlewood, hutan alam hijau seluas 14 hektare di Coleford, Gloucesteshire, Inggris, dikarenakan ia kerap menyinggahinya.

Tak heran, banyak orang, termasuk dari Indonesia, ingin mengunjungi hutan-hutan tersebut di dunia nyata. Akan tetapi lokasinya yang berada di Selandia Baru dan Inggris membuat rencana itu harus dipikirkan kembali.

Nah, jangan khawatir soal itu. Ternyata Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur terdapat sebuah hutan yang banyak disebut sebagai hutan The Lords of the Rings. 

Dilansir indonesia.go.id, namanya hutan wisata De Djawatan yang berlokasi di Desa Benculuk, Kecamatan Cluring. Hutan seluas empat hektare tersebut berada di bawah pengelolaan Perum Perhutani wilayah Kesatuan Pemangkuan Hutan Banyuwangi Selatan.

Pohon trembesi merupakan tumbuhan mayoritas di De Djawatan sekaligus menjadi daya tarik utama. Ini adalah alasan terbesar pengunjung untuk datang berwisata ke kawasan sejuk ini.

Semakin seringnya masyarakat yang mengunjungi kawasan sejuk ini pascaviral menjadi alasan pemerintah setempat menjadikannya sebagai obyek wisata alam.

Lingkungan hutan ini pun ditata ulang agar menarik untuk dikunjungi sekaligus sebagai pelepas penat, dengan tambahan ratusan meter jalan setapak beralas tanah, pemagaran pohon-pohon trembesi raksasa, dan tambahan fasilitas toilet dan musala.

Di beberapa sudut disediakan pula bangku-bangku terbuat dari kayu jati. Agar pengunjung tak cepat lelah, pengelola menyediakan fasilitas delman. Pengelola juga menyediakan sudut-sudut cantik bagi para pengunjung untuk berfoto dengan latar pohon pohon trembesi raksasa. 

Sebelum terkenal sebagai obyek wisata seperti sekarang ini, masyarakat Benculuk lebih mengenal hutan ini sebagai Tapel Pelas. Selama puluhan tahun, bahkan sejak masa kolonial Belanda, Tapel Pelas dijadikan lokasi tempat penimbunan kayu (TPK) dan hasil hutan yang dikelola Perhutani.

Setelah lokasi TPK dipindahkan ke Desa Gaul, Kecamatan Purwoharjo dan Desa Ringintelu, Kecamatan Bangorejo, Tapel Pelas pun mulai hening dan tak ada lagi aktivitas pekerja menumpukkan kayu-kayu hasil hutan. Sisa-sisa potongan kayu gelondongan yang bertumpuk-tumpuk masih bisa disaksikan di sekitar De Djawatan.

Sejak menjadi objek wisata, Dinas Pariwisata Banyuwangi mencatat setiap harinya De Djawatan dikunjungi sekitar 300 orang dan hampir 1.000 orang pada akhir pekan. Salah satu pengunjung istimewanya adalah Ketua DPR RI Puan Maharani Sukarnoputri yang berkunjung pada 2 Maret 2021.

Pengelola juga mengutip tiket masuk tak lebih dari Rp5.000 per orang dan tarif delman sekitar Rp15.000 per orang. Di awal pandemi, objek wisata ini sempat ditutup untuk umum, yakni pada 12 Maret hingga 21 Juli 2020.

Khazanah Islam: Masuk Daftar Nominator Warisan Budaya Tak Benda, Reog Ponorogo Segera Diakui UNESCO

Tampilkan Semua Halaman