Pawai karnaval rutin digelar setiap tahunnya. Banyak dari karnaval menggunakan musik kencang atau sound horeg sebagai pemeriah acara. Fenomena musik keras ini kerap ditemui di Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Di Malang, sound diperkenalkan menggunakan truk keliling, dengan membawa berbagai bentuk sound raksasa agar musik nyaring terdengar di telinga masyarakat.
Awalnya, sound tersebut digunakan sebagai takbir keliling. Masyarakat yang antusias pun memanfaatkan momen tersebut sebagai ajang hiburan dan diberi nama sound horeg.
Sound horeg akhirnya digunakan sebagai pemeriah pawai karnaval, dan acara-acara penting lain, yang biasa diadakan rutin oleh masyarakat. Bahkan, tak jarang masyarakat memanfaatkan sound horeg sebagai hiburan live dj saat pawai berlangsung.
Sound horeg pun booming di tahun 2019, kemudian vakum di tahun 2020 akibat pandemi. Selepas itu, nama sound horeg kembali mencuat ke permukaan.
Banyak masyarakat menantikan acara besar menggunakan sound horeg sebagai pemeriahnya. Memiliki ciri khas dancer dan lagu DJ, saat ini sound horeg berhasil menyita perhatian masyarakat sepenuhnya.
Layaknya diskotik outdoor, gemerlap lampu, hiburan dancer dan live DJ menjadi kenikmatan sendiri bagi masyarakat. Anehnya, keras lantunan musik sound horeg mampu membius penonton yang hadir di tengah acara.
Tak Ayal banyak masyarakat melombakan sound horeg dengan adu sound. Rupanya, adu sound pertama kali muncul di Desa Sumbersewu, Kecamatan Muncar, Kabupaten Banyuwangi. Namun, sound yang digunakan untuk adu suara tersebut berasal dari Blitar.
Adu sound ternyata sudah jadi tradisi turun temurun sejak beberapa tahun lalu. Kegiatan adu sound ini biasa digelar sore hari menjelang takbiran Idul Adha.
Adu sound sistem ini muncul, atas permintaan warga yang telah menyewa sound audio dari beberapa daerah termasuk Blitar. Adu sound pun awalnya digelar dengan sistem satu lawan satu.
Dalam adu sound ini panitia tidak memberikan gelar juara untuk pemenang.
Adu sound sistem ini sengaja digelar hanya untuk mencari kepuasan panitia dan warga yang telah menyewa puluhan juta rupiah demi sound idola.
Tradisi yang sudah berjalan di Banyuwangi ini, kemudian merambah ke sejumlah daerah lain di Jawa Timur, mulai dari Malang selatan hingga Kediri.
Para pecinta adu sound ini juga terus bertambah setiap tahunnya.
Tak heran, banyak masyarakat rela merogoh kocek hingga puluhan juta rupiah hanya demi sound sistem yang mereka idolakan. Dulu, sound yang di adu hanya satu lawan satu. Namun saat ini, semakin banyak sound, semakin menggelegar suara yang dihasilkan, itulah pemenangnya.
Namun, fenomena sound horeg yang tengah digandrungi masyarakat, saat ini telah dilarang dan dibatasi.
Salah satunya, Pemkab Malang yang melarang pelaksanaan karnaval dan parade sound melebihi pukul 23.00 WIB. Tak hanya itu, Pemkab Malang juga melayangkan pelarangan penggunaan sound system dengan intensitas kekuatan suara lebih dari 60 desibel.
Sanksi berupa denda administrasi akan dilayangkan bagi masyarakat yang berani melanggar. Keputusan melarang euforia kegiatan karnaval, cek sound, dan hiburan keramaian ini, tertuang dalam Surat Edaran Nomor 200.1.1/90.81/35.07.207/2023 yang ditandatangani Sekretaris Daerah Kabupaten Malang Wahyu Hidayat.
Bukan tanpa alasan, kerasnya volume sound horeg ini ternyata dapat membahayakan kesehatan, serta merusak lingkungan, dan konstruksi bangunan warga.
Tak hanya merusak pendengaran, volume sound horeg lebih dari 60 desibel, ternyata mampu memecahkan kaca, menggetarkan bangunan, hingga meruntuhkan atap rumah warga.
Khazanah Islam: Awas! Ini Sederet Posisi Seks yang Dilarang dalam Islam, tapi Nomor 2 Sering Dilakukan