Akulturasi kebudayaan di Indonesia adalah sesuatu yang lazim terjadi. Hal ini khususnya amat berlaku bagi adab dalam Agama Islam selaku agama dengan pemeluk terbanyak di Nusantara dengan budaya dan adat istiadat dari suatu wilayah.
Sebagai contoh, Agama Islam sejatinya hanya memperbolehkan umatnya mengungkapkan rasa terima kasih terhadap Allah SWT. Namun, akulturasi ini mampu membuat masyarakat di berbagai daerah untuk mengadakan upacara adat sebagai wujud ucapan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Di Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur misalnya. Terdapat tradisi Nyadran Dam Bagong yang selain berfungsi sebagai bentuk rasa syukur, juga dipakai sebagai metode penolak bala.
Baca Juga: Mengenal Tradisi Kebo-Keboan khas Banyuwangi untuk Sambut Hasil Panen
Nyadran Dam Bagong
Melansir situs Pemerintah Provinsi Jawa Timur pada Kamis (24/8/2023), Nyadran Dam Bagong merupakan persembahan adat yang tak henti dilestarikan oleh masyarakat setempat, menjadi simbol gotong royong, bersedekah, dan rasa syukur kepada Tuhan.
Tradisi ini menjadi ritual yang diadakan setiap tahun, khususnya pada hari Jumat Kliwon bulan Selo dalam kalender Jawa. Warga Trenggalek berkumpul di Dam Bagong, tempat di mana peristiwa ini berlangsung. Bagong, dahulu merupakan sebuah dam pembagi aliran sungai, kini menjadi pusat perhatian untuk merayakan tradisi bersejarah ini.
Tradisi Nyadran Dam Bagong memiliki makna mendalam dalam sejarahnya. Upacara ini merupakan bentuk penghormatan kepada Ki Ageng Menak Sopal, seorang tokoh ulama yang berjasa dalam menyebarkan ajaran Islam di Trenggalek.
Ki Ageng Menak Sopal juga adalah sosok di balik pembangunan Dam Bagong yang memberikan manfaat luas bagi masyarakat. Dam ini menjaga persediaan air untuk pertanian serta mampu mencegah banjir saat hujan deras.
Prosesi Nyadran dimulai dengan tahlilan di samping makam Ki Ageng Menak Sopal, diikuti dengan ziarah makam dan hiburan tarian jaranan yang menampilkan semangat lokal. Puncaknya adalah pelemparan tumbal kepala kerbau ke dalam sungai Dam Bagong.
Tradisi ini merupakan bentuk syukur atas kemakmuran yang diberikan dan menjaga dari bencana. Bupati Trenggalek, Mochammad Nur Arifin, pernah menjelaskan bahwa Nyadran adalah bentuk sedekah, dengan harapan akan mendapatkan berkah dari Tuhan.
Pelemparan kepala kerbau menjadi simbol gotong royong dan semangat kerja keras. Kepala kerbau, sebagai makhluk yang kuat dan bekerja keras, melambangkan tekad dan usaha dalam mencapai kesuksesan. Prosesi ini tidak hanya sekedar ritual, tetapi juga sebagai simbol kehormatan dan kepercayaan.
Nyadran Dam Bagong memainkan peran penting dalam mempererat hubungan sosial antara warga. Gotong royong dalam menyiapkan perlengkapan dan pelaksanaan tradisi ini menggambarkan rasa kebersamaan dan persatuan dalam masyarakat.
Baca Juga: Upacara Ruwatan, Tradisi Adat Pembuang Sial dari Tanah Jawa
Bisa disimpulkan kalau Nyadran Dam Bagong adalah cerminan kekayaan budaya dan nilai-nilai luhur yang terus dijaga dan diwariskan oleh masyarakat Trenggalek.
Pelaksanaan tradisi ini bukan hanya sekadar ritual yang terkesan mistis, melainkan simbol penghormatan, gotong royong, dan rasa syukur yang terus menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan komunitas di Trenggalek.
Khazanah Islam: Awas! Ini Sederet Posisi Seks yang Dilarang dalam Islam, tapi Nomor 2 Sering Dilakukan