Menu


Upacara Ruwatan, Tradisi Adat Pembuang Sial dari Tanah Jawa

Upacara Ruwatan, Tradisi Adat Pembuang Sial dari Tanah Jawa

Kredit Foto: Kemdikbud

Konten Jatim, Depok -

Tidak bisa dipungkiri memang bahwa masih banyak masyarakat di Indonesia yang mempercayai hal-hal berbau klenik. Tetapi, penting juga untuk dipahami bahwa kepercayaan ini bukanlah terhadap kemistisannya, melainkan terhadap adat istiadat setempat.

Di tanah Jawa misalnya, terdapat berbagai macam tradisi atau upacara adat yang masih dilangsungkan dari tahun ke tahun. Ini merupakan bentuk penghormatan terhadap tradisi leluhur serta bukti kekayaan budaya di Indonesia.

Salah satu upacara adat yang terkenal di Jawa dan masih banyak dilakukan oleh masyarakat asli wilayah ini, termasuk di Jawa Timur adalah Upacara Ruwatan.

Baca Juga: Pengertian Malam Satu Suro yang Sakral bagi Masyarakat Jawa

Upacara Ruwatan

Pengertian dan Asal-Usul

Dikutip dari laman resmi Pemerintah Kota Surakarta pada Rabu (23/8/2023), Ruwatan adalah salah satu ritual penyucian yang masih berlangsung dalam kehidupan masyarakat Jawa dan sebagian masyarakat Bali.

Istilah "ruwatan" sendiri berasal dari bahasa Jawa yang memiliki arti "dilepas" atau "dibebaskan". Oleh karena itu, Ruwatan menjadi upacara yang diadakan dengan tujuan membebaskan seseorang dari hukuman atau kutukan yang dikhawatirkan dapat membawa bahaya atau kesialan.

Tradisi Ruwatan memiliki akar budaya yang dalam kehidupan masyarakat Jawa. Tujuannya melibatkan pembebasan dari kutukan dan ancaman bahaya yang terkadang diyakini berasal dari makhluk gaib atau tindakan yang kurang tepat. 

Baca Juga: 7 Ritual dalam Malam Satu Suro: Penjelasan dan Maknanya

Asal usul Ruwatan berkaitan dengan cerita pewayangan, khususnya kisah Batara Guru dan Batara Kala. Batara Kala, yang muncul akibat keinginan asmara yang tak terkendali dari Batara Guru, menyebabkan ketidakstabilan dan bahaya bagi manusia.

Dalam cerita tersebut, Batara Kala meminta makanan berupa manusia dan Batara Guru setuju dengan syarat orang yang dimakan haruslah wong sukerta, yaitu orang-orang yang mengalami kesialan atau yang dianggap tidak beruntung. 

Untuk menghindari nasib malang ini, tradisi ruwatan menjadi solusi. Setiap anak yang berstatus anak tunggal harus menjalani ruwatan untuk membebaskan diri dari ancaman kesialan.

Proses Pelaksanaan dan Makna

Proses Ruwatan melibatkan persyaratan seperti sajen, yang merupakan makanan dan benda lain yang digunakan sebagai perantara komunikasi dengan makhluk gaib. Beberapa jenis sajen diperlukan dalam upacara ini, yang meliputi makanan dan benda-benda lain seperti bunga, padi, kain, dan lainnya. 

Tradisi ini dilakukan dalam beberapa tahap, yang melibatkan pertunjukan wayang sebagai pemandu pagelaran oleh dalang yang mengisahkan lakon khusus Murwakala, serta penyajian sesaji khusus untuk memuja Batara Kala.

Makna dari tradisi Ruwatan adalah untuk memohon keselamatan dan perlindungan bagi individu yang menjalani ruwatan. Proses ini adalah bentuk pembebasan dari berbagai bahaya dan kutukan yang mungkin menghampiri seseorang. 

Baca Juga: 7 Amalan di Malam Satu Suro yang Tidak Boleh Dilewatkan Umat Islam

Hingga saat ini, tradisi Ruwatan masih dipegang teguh oleh sebagian besar masyarakat Jawa karena kaitannya dengan keamanan dan perlindungan, terutama bagi anak tunggal dan keluarganya. Selain itu, tradisi ini juga berfungsi sebagai bentuk pelestarian adat dan budaya yang diwariskan oleh leluhur.

Selain perlunya pembebasan individu, Ruwatan juga dapat diarahkan pada lingkungan dan wilayah. Pelaksanaan Ruwatan dapat berbeda, tergantung pada tujuannya. Upacara ini menggambarkan bagaimana masyarakat Jawa memandang hubungan spiritual antara manusia, alam, dan makhluk gaib. 

Ruwatan bukan sekadar upacara, tetapi merupakan bagian dari warisan budaya yang membantu masyarakat Jawa menjaga keseimbangan dalam hidup dan menjunjung tinggi nilai-nilai kehidupan yang mereka anut.

Khazanah Islam: Pujian untuk Ambisi Berkelanjutan, Warta Ekonomi Gelar Indonesia Most Visionary Companies Awards 2024