Menu


Kisah Hidup Patih Gajah Mada (Bag. 1): Kelahiran, Kejayaan, dan Kematian

Kisah Hidup Patih Gajah Mada (Bag. 1): Kelahiran, Kejayaan, dan Kematian

Kredit Foto: YouTube/Sarkub Channel

Konten Jatim, Depok -

Kerajaan Majapahit adalah salah satu kerajaan terbesar di Indonesia. Keberadaan kerajaan ini di masa lampau amat berpengaruh terhadap peta perpolitikan kerajaan-kerajaan lain, merambah ke hal-hal seperti geografi, teritori, dan perekonomian di masa itu.

Tentunya kesuksesan Kerajaan Majapahit di masa lampau tidak langsung digapai begitu saja. Perlu waktu bertahun-tahun dan keterlibatan dari sejumlah tokoh besar sebelum akhirnya kerajaan bercorak Hindu-Budha ini mampu menguasai Indonesia.

Dan tidak dapat dipungkiri bahwa sosok yang paling berpengaruh terhadap kebesaran Kerajaan Majapahit adalah sang patih, Gajah Mada.

Baca Juga: Kisah Kerajaan Majapahit (Bag. 1): Sejarah Terbentuknya Kerajaan Majapahit

Kisah Patih Gajah Mada

Melansir situs Biografiku dan sumber lain pada Selasa (22/8/2023), Gajah Mada, yang juga dikenal dengan nama Jirnnodhara, adalah seorang tokoh yang memiliki peran penting dalam sejarah Kerajaan Majapahit, memainkan peran sentral dalam membawa kerajaan ini menuju puncak kejayaannya. 

Meskipun informasi mengenai asal usul dan tahun kelahirannya tidak pasti, catatan sejarah menunjukkan bahwa ia lahir sekitar tahun 1290 dan wafat sekitar tahun 1364. Karier awal Gajah Mada dimulai ketika ia menjadi seorang bekel di Majapahit.  sebuah posisi prajurit di kesatuan khusus bhayangkara, pada masa pemerintahan Raja Jayanegara (1309–1328). 

Kariernya berkembang pesat saat ia berhasil menyelamatkan Raja Jayanegara dari ancaman pemberontakan Ra Kuti. Atas jasa-jasanya ini, ia diangkat sebagai Patih Kahuripan pada tahun 1319, dan dua tahun kemudian menjadi Patih Daha.

Sekitar tahun 1329, Patih Majapahit yang saat itu adalah Arya Tadah (Mpu Krewes) ingin mengundurkan diri, dan ia menunjuk Gajah Mada sebagai penggantinya. Namun, Gajah Mada baru setuju setelah berhasil menaklukkan pemberontakan di Keta dan Sadeng. 

Setelah berhasil dalam tugas ini, Ratu Tribhuwanatunggadewi mengangkatnya secara resmi sebagai Mahapatih Amangkubhumi pada tahun 1334.Pada saat pelantikan, Gajah Mada mengucapkan Sumpah Amukti Palapa, yang menunjukkan tekadnya untuk menyatukan Nusantara di bawah kekuasaan Majapahit. 

Ia bersumpah tidak akan menikmati "palapa" atau kenikmatan dunia sebelum berhasil menaklukkan wilayah Nusantara, termasuk Gurun, Seram, Tanjung Pura, Pahang, Bali, Sunda, dan lain-lain.

Gajah Mada kemudian memimpin politik penaklukan Nusantara selama 21 tahun, mulai dari tahun 1336 hingga 1357. Dia berhasil menaklukkan banyak wilayah di luar wilayah Majapahit, termasuk Bali, Lombok, Sumatra, Kalimantan, Singapura, dan wilayah-wilayah lainnya.

Namun, peran Gajah Mada juga diwarnai dengan Perang Bubat pada tahun 1357. Perang ini dipicu oleh upaya pernikahan antara Raja Majapahit, Hayam Wuruk, dengan putri Kerajaan Sunda, Dyah Pitaloka. 

Baca Juga: Kisah Kerajaan Majapahit (Bag. 2): Masa Kejayaan Kerajaan Majapahit

Konflik ini mengakibatkan kematian banyak orang dari Kerajaan Sunda, dan Gajah Mada dinonaktifkan dari jabatannya karena tindakan ini tidak sesuai dengan prinsip diplomasi. Setelah peristiwa ini, Gajah Mada meninggalkan dunia politik dan ada beberapa versi mengenai akhir hidupnya. 

Salah satu versi menyebutkan bahwa ia menjadi seorang pertapa di daerah Madakaripura di kaki pegunungan Bromo-Semeru. Versi lain menyebutkan bahwa ia meninggal di Kota Majapahit atau di daerah Karsyan.

Meskipun akhir riwayatnya masih diperdebatkan, tidak dapat disangkal bahwa Patih Gajah Mada adalah salah satu tokoh yang sangat berjasa dalam menyatukan Nusantara di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit. 

Baca Juga: Kisah Kerajaan Majapahit (Bag. 3): Keruntuhan Kerajaan Majapahit

Dengan tekad dan dedikasinya, ia mewujudkan impian untuk mengintegrasikan berbagai wilayah menjadi satu kesatuan yang kuat, meskipun ada konsekuensi yang harus dihadapi dalam perjalanannya.

Khazanah Islam: Masuk Daftar Nominator Warisan Budaya Tak Benda, Reog Ponorogo Segera Diakui UNESCO