Ada masa di mana kerajaan bercorak Hindu-Budha menguasai Tanah Air, tersebar luas di berbagai wilayah di Tanah Air. Pengaruh dari kerajaan-kerajaan ini juga besar, bahkan sampai meluas di luar wilayah Indonesia.
Terdapat beberapa kerajaan bercorak Hindu-Budha yang besar dan memiliki pusat pemerintahan di Jawa Timur. Sebut saja Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Singasari yang wilayah kekuasaannya disebut mencapai negara-negara di Asia Tenggara lain.
Meskipun begitu, harus dipahami bahwa keberadaan 2 kerajaan tersebut tidak lepas dari eksistensi Kerajaan Kediri sebagai pendahulu.
Baca Juga: Sejarah Kerajaan Kanjuruhan: Pembangunan, Masa Keemasan, dan Keruntuhan
Proses Berdirinya Kerajaan Kediri
Menyadur berbagai sumber pada Jumat (18/8/2023), proses berdirinya Kerajaan Kediri dimulai dari tahun 1041 Masehi, ketika Raja Airlangga memerintahkan pembagian Kerajaan Kahuripan menjadi dua bagian, sebagai upaya untuk mencegah pertikaian yang dapat menghancurkan kedamaian kerajaan.
Wilayah yang menjadi bagian dari Raja Airlangga dikenal sebagai Kahuripan, sementara wilayah yang terpisah menjadi Kerajaan Jenggala (Kahuripan) dan Panjalu (Kediri). Perbatasan antara kedua kerajaan ini ditentukan oleh Gunung Kawi dan Sungai Brantas. Bukti wilayah ini dicatat dalam prasasti Mahaksubya (1289 M), kitab Negarakertagama (1365 M), serta kitab Calon Arang (1540 M).
Tahap awal perkembangan Kerajaan Kediri sejauh ini masih sedikit diketahui oleh sejarawan. Prasasti Turun Hyang II (1044) yang dikeluarkan oleh Kerajaan Jenggala hanya menyiratkan adanya konflik saudara antara Jenggala dan Kediri setelah kematian Raja Airlangga.
Baca Juga: Mengenal Raja Gajayana, Raja Terbesar Kerajaan Kanjuruhan
Namun, seiring waktu, informasi tentang sejarah Kerajaan Kediri semakin jelas. Prasasti Sirah Keting tahun 1104 mencatat nama Sri Jayawarsa, dan sebelumnya, hanya raja Sri Samarawijaya yang dikenal.
Letak geografis Kerajaan Kediri berpusat di Jawa Timur, dengan pusat pemerintahan berada di Daha, kini dikenal sebagai Kota Kediri. Daha terletak di tepi Sungai Brantas yang pada masa itu merupakan jalur pelayaran utama.
Kakawin Desawarnana, karya Empu Prapañca, seorang bekas pembesar urusan agama Buddha di istana Majapahit, menguraikan peristiwa pembagian kerajaan oleh Raja Airlangga dan perpindahan ibu kota ke Daha di wilayah Panjalu. Prasasti Wurare pada era Singhasari juga mencatat perpecahan wilayah ini yang dilakukan oleh pendeta Aryya Bharad.
Menurut prasasti Turun Hyang (1044 M), Airlangga menghadapi persaingan perebutan takhta antara putra-putranya, dimana sebenarnya pewaris takhta adalah Sanggramawijaya Tunggadewi, yang memilih hidup sebagai pertapa biksuni dengan gelar Dewi Kili Suci.
Prasasti Pamwatan (1042 M) dan Serat Calon Arang (1439 M) mencatat Airlangga memindahkan Ibu Kotanya ke Dahanapura, wilayah Panjalu atau Kediri.
Baca Juga: 3 Peninggalan Kerajaan Kanjuruhan yang Paling Terkenal. Apa Saja?
Sebelum turun takhta, Airlangga membagi kerajaannya atas saran gurunya, Mpu Bharada. Bagian barat, Panjalu, diberikan kepada Sri Samarawijaya, sementara bagian timur, Janggala, diberikan kepada Mapanji Garasakan.
Meski demikian, Airlangga dan putrinya Sanggramawijaya Tunggadewi masih tetap aktif dalam pemerintahan, seperti tercermin dalam gelar kependetaan Airlangga yang disebut Resi Aji.
Berbagai kitab sastra, termasuk Kakawin Bharatayudha karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh, menceritakan tentang kemenangan Kerajaan Kediri atas Jenggala. Setelah berdiri pada tahun 1045, Kerajaan Kediri terus berkembang hingga menjadi kekuatan yang kuat di pulau Jawa.
Khazanah Islam: Masuk Daftar Nominator Warisan Budaya Tak Benda, Reog Ponorogo Segera Diakui UNESCO