Kerajaan Singasari, di masanya merupakan kerajaan bercorak Hindu-Budha terbesar di Indonesia. Meskipun begitu, perlu waktu yang tidak singkat sampai akhirnya Kerajaan Singasari mencapai puncak kejayaannya.
Beberapa raja sebelumnya seperti Ken Arok, Anusapati, sampai Wisnuwardhana, membentuk fondasi Kerajaan Singasari sebelum akhirnya bisa sebesar dan seperkasa Kerajaan Singasari di masa mendatang.
Barulah di era Raja Kertanegara, Kerajaan Singasari mencapai era keemasan dan mengklaim diri mereka sebagai kerajaan terbesar di Indonesia.
Baca Juga: Kisah Kerajaan Singasari (Bag.1): Sejarah Berdirinya Kerajaan Singasari
Sosok Raja Kertanegara
Merangkum informasi dari jurnal Universitas Komputer Indonesia pada Senin (14/8/2023), Raja Kertanegara, atau Sri Maharaja Kertanagara adalah putra dari Raja Wisnuwardhana dan Jayawardhani, cucu dari Ken Arok dan Ken Dedes, pendiri Kerajaan Singasari.
Sebagai keturunan bangsawan, Kertanegara diangkat menjadi raja kelima Kerajaan Singasari, menggantikan ayahnya. Kertanegara memerintah dari tahun 1268 hingga 1292, menjadikannya raja dengan masa pemerintahan terpanjang dalam sejarah Singasari.
Selama masa kejayaannya, Kertanegara mengambil langkah-langkah penting yang mengubah dinamika politik, ekonomi, dan agama di kerajaannya.
Baca Juga: Kisah Kerajaan Singasari (Bag.2): Masa Kejayaan Kerajaan Singasari
Salah satu kebijakan paling berani yang diambil oleh Kertanegara adalah upaya penyatuan agama Hindu aliran Siwa dan agama Buddha aliran Tantrayana. Ia dianggap sebagai sosok yang memiliki pemahaman mendalam tentang kedua agama tersebut.
Dalam banyak naskah, Kertanegara disebut Bhatara Siwa Buddha, menggambarkan harmonisasi keyakinan yang unik di bawah kepemimpinannya. Selain itu, Kertanegara dikenal sebagai raja pertama di Jawa yang berambisi untuk memperluas wilayah kekuasaannya hingga mencakup Nusantara.
Ia berhasil menaklukkan berbagai daerah seperti Bali, Sunda, Pahang, Gurun, dan sebagian Sumatera. Upaya ini dilakukan sebagai bentuk persiapan untuk menghadapi ancaman eksternal, termasuk dari Dinasti Yuan Mongol yang saat itu sedang melakukan ekspansi wilayah di berbagai belahan dunia.
Selain ekspansi wilayah, Kertanegara juga menjalin hubungan diplomatik dengan Kerajaan Campa. Hal ini menunjukkan pandangan luas Kertanegara dalam membangun jaringan politik dan perdagangan di wilayah Nusantara.
Baca Juga: Kisah Kerajaan Singasari (Bag.3): Runtuhnya Kerajaan Singasari
Pemberontakan dan Akhir Hayat
Pada tahun 1289, Kertanegara dihadapkan pada tantangan serius dari Dinasti Yuan Mongol di bawah pimpinan Kubilai Khan. Permintaan Kubilai Khan agar Kertanegara tunduk dan mengirim upeti secara tahunan ditolak oleh Kertanegara dengan sikap provokatif.
Bahkan, disebutkan Kertanegara sampai melukai utusan Mongol tersebut. Hal ini mengundang kemarahan Kubilai Khan dan berpotensi membawa ancaman besar terhadap Kerajaan Singasari.
Di tengah perlawanan terhadap pengaruh Mongol, Kertanegara juga dihadapkan pada pemberontakan internal. Jayakatwang, bupati Gelanggelang, yang terinspirasi oleh Arya Wiraraja, mantan pejabat Singasari yang merasa tidak puas dengan mutasi jabatannya, memberontak terhadap Kertanegara.
Baca Juga: Sejarah Kabupaten Lumajang: Bermula dari Kerajaan SIngasari
Pemberontakan ini berhasil memanfaatkan momen ketika Kertanegara sedang mengadakan upacara ritual agama. Kertanegara dan beberapa pejabat penting lainnya tewas dalam serangan pasukan pemberontak, dan ini menandai akhir pemerintahan Kertanegara.
Langkah-langkahnya dalam memperluas wilayah kekuasaan juga menjadi landasan bagi pembentukan kerajaan-kerajaan lain, seperti Majapahit yang didirikan oleh menantunya, Raden Wijaya.
Salah satu peninggalan fisik yang menggambarkan kepemimpinan Kertanegara adalah Arca Joko Dolog, yang dianggap sebagai perwujudan dirinya. Arca ini menggambarkan Kertanegara dalam posisi duduk dengan tangan melambai, mencerminkan kedalaman spiritual dan pemikiran Kertanegara.
Khazanah Islam: Awas! Ini Sederet Posisi Seks yang Dilarang dalam Islam, tapi Nomor 2 Sering Dilakukan