Beberapa waktu lalu mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof Jimly Asshiddiqie berpendapat sikap Moeldoko yang ingin mengambil alih Demokrat bisa jadi pintu masuk pemakzulan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Pakar Hukum Tata Negara Denny Indrayana mengaku setuju dengan pernyataan tersebut. Hal tersebut bisa dilihat dengan apakah Jokowi setuju dengan pembajakan politik tersebut.
Baca Juga: Dibanding Ganjar dan Prabowo, Loyalis Jokowi Sebut Anies Paling Rentan Gagal Nyapres, Ini Alasannya
"Secara hukum, jika kondisi normal, DPR harus mengajukan hak angket untuk menyelidiki apakah Presiden Jokowi memberikan persetujuan atas langkah pembajakan politik yang dilakukan KSP Moeldoko tersebut," kata Denny Indrayana, mengutip fajar.co.id, Minggu (4/6/2023).
Jika terbukti memang ada persetujuan Presiden Jokowi, maka proses pemakzulan berlanjut ke MK. Jika tidak terbukti, tentu proses harus berhenti.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof Jimly Asshiddiqie sebelumnya berpendapat PK Moeldoko bisa jadi pintu masuk untuk pemakzulan Jokowi.
"Bisa aja kalau dia dengan sengaja untuk melakukan tindakan yang menyalahi aturan karena kan sudah bersumpah. Kalau soal pintu masuk sih bisa aja," kata Prof Jimly Asshiddiqie.
Dia mengatakan, banyak hal yang bisa menjadi pintu untuk pemakzulan Jokowi. Misalnya saja saat pemecatan Hakim MK Aswanto, saat membuat Perppu Cipta Kerja dan terakhir memperpanjang masa jabatan KPK menjadi lima tahun.
"Saya kan sudah bilang waktu Hakim MK dipecat. Itu pintu masuk. Kan dia bisa bikin Perppu, memperpanjang masa jabatan seenaknya. Toh DPR telah dikuasai, telah disetujui. Jadi pintu masuknya itu banyak. Apa dasarnya hakim Aswanto diberhentikan," jelasnya.
Lebih lanjut kata Anggota DPRD dari Jakarta ini mengaku telah mempertanyakannya ke Menko Polhukam Mahfud MD soal ini.
Dia menyebut hal ini juga bertentangan dengan apa yang diyakini oleh Mahfud jika dilihat dengan tulisan bukunya Mahfud.
"Saya sudah bilang sama Pak Mahfud selalu Menko, dasarnya begini nggak boleh. Tapi alasannya inikan sudah dari DPR. Berarti cara berpikirnya sangat formalistik prosedural, bertentangan dengan Mahfud sendiri. Keadilan substantif, demokrasi substantif," ungkapnya.
"Kan gitukan di bukunya dia soal ceramah ini sangat prosedural. Alasannya itu nggak bisa, ini sudah di DPR. Dia (presiden) politisi segi dia menunggangi. Coba kalau dia bertindak sebagai negarawan, kepala negara bukan kepala pemerintah," tambahnya.
Menurutnya, Mahkamah Agung ini sama seperti itu. “Dia (Jokowi) akan membiarkan itu dalam arti karena dia politik, politisi, transaksional. ‘Dari segi hukum bisa diperdebatkan bahwa ini nggak salah. Bukan saya kok’,” katanya.
Soal Moeldoko, Mantan Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum ini mengatakan, Moeldoko setingkat menteri tapi bukan Menteri, harusnya KSP itu melayani pimpinan bukan mengurus partai.
"Makanya saya pernah menyarankan. Sebaiknya Moeldoko itu diberhentikan dari KSP. Biar tidak menimbulkan citra yang buruk," tandasnya.
Khazanah Islam: Pujian untuk Ambisi Berkelanjutan, Warta Ekonomi Gelar Indonesia Most Visionary Companies Awards 2024