Partai Golkar dan PAN bisa membentuk poros keempat, usai ditinggal oleh mitra koalisi mereka di Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yakni PPP.
Wacana poros keempat Partai Golkar dan PAN bisa mengubah konstelasi politik nasional. Mereka akan mendapat keuntungan elektoral.
Meski ditinggal PPP, Partai Golkar dan PAN tetap memenuhi aturan ambang batas pencalonan presiden alias presidential threshold 20 persen. Gabungan Golkar dan PAN memiliki 22,43 persen kursi di DPR RI.
Baca Juga: Prabowo-Airlangga Dielu-elukan untuk Berduet, Golkar: Kita Juga Harus Berpikir Cerdas
Keduanya juga tidak akan menjadi sekadar parpol pengekor atau pendompleng dalam Pilpres 2024. Ini peluang bagi Golkar dan PAN untuk menaikkan elektabilitas, sebab beberapa survei, Partai Golkar selalu ditempatkan di urutan ketiga. Sementara PAN tak masuk lima besar.
Rektor Universitas Paramadina Didik J. Rachbini mengatakan, poros keempat ini menjadi momentum dan peluang besar bagi Golkar dan PAN.
Menurutnya, poros baru ini bisa memperkuat ketahanan kedua partai. Sebaliknya, jika terus menjadi pengekor parpol lain, mereka tidak diuntungkan.
Menurut Didik, Partai Golkar pernah besar dan menjadi partai paling stabil.
Golkar sebenarnya berkehendak untuk membuat debut sendiri dan mengusung capres. Sebab, hal itu diharapkan berdampak pada elektabilitas partainya. Ini menjadi peluang untuk berkiprah mengusung pasangan sendiri.
"Sehingga bisa membuat peta politik baru menjadi empat pasangan," ucapnya.
Didik menegaskan, jika Golkar dan PAN terus menjadi pengikut partai lain, akan menguntungkan Partai Gerindra. "Golkar dan PAN tidak mendapat apa-apa dalam hal votes, kecuali jatah menteri. Itu pun jika menang," urainya.
Baca Juga: Kader Golkar Ini Ingin Mahkamah Konstitusi Tetap Berlakukan Sistem Pemilu Terbuka
Menurutnya, Golkar dan PAN harus punya kesepakatan. Apakah akan mengusung ketua umumnya atau figur lain. Namun bisa juga mengusung figur lain yang punya peluang menang.
Khazanah Islam: Masuk Daftar Nominator Warisan Budaya Tak Benda, Reog Ponorogo Segera Diakui UNESCO