Wakil Presiden Indonesia ke-10 dan 12, Jusuf Kalla menyinggung soal utang negara yang besar di era pemerintahan Joko Widodo (Jokowi).
Hal tersebut disampaikan mantan Wakil Presiden RI ini dalam milad ke-21 Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Istora Senayan, Jakarta Pusat, pada Sabtu, 20 Mei 2023.
Pria yang karib dengan sapaan JK ini mengatakan, berutang memang mudah dilakukan, tapi yang susah adalah membayar utang. Dia menyebut, Indonesia membutuhkan presiden yang mampu menyelesaikannya.
Baca Juga: Jusuf Kalla Minta Jokowi Tak Ikut Campur Urusan Pilpres, PDIP Beri Sindiran
"Kita diwariskan untuk membayar utang, tapi pahlawan (presiden) yang sebenarnya adalah yang menyelesaikan persoalan. Pemberani yang sebenarnya adalah yang berani untuk tampil menyelesaikan persoalan bangsa ke depan," ujar JK melalui keterangan tertulis dikutip Minggu, 21 Mei 2023.
JK menjelaskan, tingginya utang Indonesia saat ini adalah gabungan antara utang pemerintahan sebelumnya dengan pemerintahan sekarang. Namun, dia menegaskan, utang pemerintah saat ini yakni dalam kepemimpinan Presiden Jokowi adalah yang terbesar.
"Setahun bayar utang dan bunga sampai seribu triliun. Ini terbesar dalam sejarah Indonesia sejak merdeka," kata JK yang juga Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI) itu.
Di sisi lain, Mantan Ketua Umum Partai Golkar itu juga mengakui bahwa undang-undang membolehkan pemerintah melakukan utang 60 persen dari pendapatan nasional. Namun, JK tetap mengingatkan perlunya kehati-hatian terhadap peningkatan hutang pemerintah.
Beberapa waktu lalu, Kementerian Keuangan mengumumkan posisi utang pemerintah hingga akhir Januari 2023. Nilainya mencapai Rp 7.754,98 triliun (naik dari Desember 2022 yang besarannya Rp 7.733,99 triliun) dengan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 38,56 persen.
"Pemerintah senantiasa melakukan pengelolaan utang secara hati-hati dengan risiko yang terkendali melalui komposisi yang optimal, baik terkait mata uang, suku bunga, maupun jatuh tempo," tertulis dalam Buku APBN Kita Edisi Februari 2023.
Dalam laporan itu juga disampaikan, berdasarkan mata uang, utang pemerintah berdenominasi rupiah mendominasi dengan proporsi 71,45 persen. Hal ini sejalan dengan kebijakan umum pembiayaan utang, yaitu mengoptimalkan sumber pembiayaan dalam negeri dan memanfaatkan utang luar negeri sebagai pelengkap.
Baca Juga: Jusuf Kalla Peringati Jokowi untuk Tak Ikut Campur Urusan Pemilu
Kebijakan itu dilakukan dengan koordinasi bersama Bank Indonesia dalam rangka menghadapi volatilitas nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing dan dampaknya terhadap pembayaran kewajiban utang luar negeri. "Sehingga risiko nilai tukar lebih terjaga," kata Kemenkeu dalam catatan itu.
Khazanah Islam: Masuk Daftar Nominator Warisan Budaya Tak Benda, Reog Ponorogo Segera Diakui UNESCO