Menu


Peringati Hari Puisi Nasional, Ini Sederet Puisi Chairil Anwar yang Legendaris

Peringati Hari Puisi Nasional, Ini Sederet Puisi Chairil Anwar yang Legendaris

Kredit Foto: Orami

Konten Jatim, Jakarta -

Chairil Anwar adalah sosok ‘Si Binatang Jalang’ yang telah memperkaya karya sastra Indonesia dengan total 96 karyanya, dengan 70 diantaranya yang merupakan puisi. 

Ya, julukan ‘Si Binatang Jalang’ itu sendiri pun datang dari salah satu puisinya sendiri, yakni bertajuk ‘Aku’. Kepopuleran Chairil  terus melejit usai itu. Ialah penyair puisi nasional yang telah selayaknya dikenang. 

Karyanya mendobrak semangat anak muda bangsa dan terus menginspirasi lahirnya sederet penyair nasional yang legendaris hingga saat ini.

Baca Juga: Hari Puisi Nasional, Ini 8 Penulis Puisi Terkenal Indonesia

Berikut sederet karya puisi Chairil Anwar yang legendaris selain ‘Aku’, dikutip dari Orami:

1. Derai-Derai Cemara

Derai-Derai Cemara

Cemara menderai sampai jauh

terasa hari akan jadi malam

ada beberapa dahan di tingkap merapuh

dipukul angin yang terpendam

Aku sekarang orangnya bisa tahan

sudah berapa waktu bukan kanak lagi

tapi dulu memang ada suatu bahan

yang bukan dasar perhitungan kini

Hidup hanya menunda kekalahan

tambah terasing dari cinta sekolah rendah

dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan

sebelum pada akhirnya kita menyerah

2. Diponegoro

Baca Juga: Sejarah Hari Ini: Hari Puisi Nasional, Dramatisir Wafatnya Chairil Anwar

Diponegoro

Di masa pembangunan ini

tuan hidup kembali

Dan bara kagum menjadi api

Di depan sekali tuan menanti

Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.

Pedang di kanan, keris di kiri

Berselempang semangat yang tak bisa mati.

MAJU

Ini barisan tak bergenderang-berpalu

Kepercayaan tanda menyerbu.

Sekali berarti

Sudah itu mati.

MAJU

Bagimu Negeri

Menyediakan api.

Punah di atas menghamba

Binasa di atas ditindas

Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai

Jika hidup harus merasai.

Maju.

Serbu.

Serang.

terjang

Februari 1943

3. Karawang-Bekasi

Karawang-Bekasi

Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi

tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.

Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,

terbayang kami maju dan berdegap hati?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi

Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.

Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bisa

Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan

Tapi adalah kepunyaanmu

Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jika kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan atau tidak untuk apa-apa,

Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata

Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi

Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami

Teruskan, teruskan jiwa kami

Menjaga Bung Karno

menjaga Bung Hatta

menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat

Berikan kami arti

Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami

yang tinggal tulang-tulang diliputi debu

Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi

Baca Juga: Bagaimana Nasib Karyawan BUMN yang Dibubarkan Jokowi? Ternyata…

4. Sia-Sia

Sia-Sia

Penghabisan kali itu kau datang

membawaku karangan kembang

Mawar merah dan melati putih:

darah dan suci

Kau tebarkan depanku

serta pandang yang memastikan: Untukmu.

Sudah itu kita sama termangu

Saling bertanya: Apakah ini?

Cinta? Keduanya tak mengerti.

Sehari itu kita bersama. Tak hampir-menghampiri.

Ah! Hatiku yang tak mau memberi

Mampus kau dikoyak-koyak sepi.

5. Senja di Pelabuhan Kecil

Baca Juga: Pengabdian Ustadz Somad dan Karya-Karya Tulisnya

Senja di Pelabuhan Kecil

Kepada Sri Ajati

Ini kali tidak ada yang mencari cinta

di antara gudang, rumah tua, pada cerita

tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut

menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang

menyinggung muram, desir hari lari berenang

menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak

dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan

menyisir semenanjung, masih pengap harap

sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan

dari pantai keempar, sedu penghabisan bisa terdekap

Khazanah Islam: Pujian untuk Ambisi Berkelanjutan, Warta Ekonomi Gelar Indonesia Most Visionary Companies Awards 2024