Wacana koalisi besar belum berkembang sejauh ini. Pembahasan tentang penggabungan lima partai berkuasa ke dalam poros koalisi bisa mandek karena banyak pikiran perlu bersatu untuk mengakomodir semua kepentingan.
Pengamat politik Adi Prayitno menilai penjajakan koalisi besar memungkinkan berakhir sebatas wacana lantaran bukan hanya sejauh ini tak mengalami progres, namun bakal mengalami dinamika pada teknis menentukan calon presiden. Artinya koalisi hanya mentok pada level isu namun sulit untuk mempraktikkannya.
Baca Juga: Partai Ummat Enggan Gabung Koalisi Besar: Kita Koalisi dengan Rakyat
"Yang jadi perdebatan, yang menjadi rumit itu ketika siapa yang kira-kira akan jadi capres. Di situ rumit dan sangat potensial deadlock karena menyatukan banyak partai itu sama dengan menyatukan banyak kepentingan-kepentingan politik yang ada di dalamnya," jelasnya di Jakarta, Senin (17/4/2023).
Menurut Adi, koalisi besar pada level wacana untuk menggabungkan lima partai pendukung pemerintah sangat realistis. Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tidak mengalami kendala karena memiliki kesamaan platform selaku partai pendukung pemerintah.
"Pada konteks itu tidak ada perdebatan apapun," ujarnya.
Sekalipun begitu, tak menutup kemungkinan penjajakan bakal berakhir buntu ketika intensitas komunikasi ditingkatkan untuk membahas siapa pasangan yang bakal diusung. Belum lagi ada upaya membuka ruang bergabungnya PDI Perjuangan yang diyakini bakal mengusung kader sebagai capres.
Kesulitan menentukan capres sejatinya bisa dibaca dari pergerakan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) dan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KIR) yang hingga kini belum mendeklarasikan siapa pasangan yang bakal diusung. Padahal masing-masing koalisi sudah memenuhi ambang batas untuk mencalonkan.
Baca Juga: PDIP Ngotot Ingin Posisi Capres Koalisi Besar, Golkar: Gabung Saja Dulu, Baru Bahas Selanjutnya
KIB gabungan Golkar, PAN dan PPP selaku pelopor koalisi hingga kini belum solid menentukan capres. Malahan menyuarakan kandidat eksternal untuk diusung. Situasi serupa juga terlihat dari KIR yang hingga kini belum berani deklarasi capres.
Dengan demikian, sulit membayangkan kedua koalisi melebur menjadi satu untuk menghadapi Pemilu 2024. Pasalnya dibutuhkan figur capres yang dapat diterima seluruh pihak sebagai pengikat atau pemimpin koalisi.
"Kita tahu misalnya Gerindra harga mati Prabowo maju capres, Airlangga harga mati maju capres. Apalagi ada PDIP yang harga mati mengusung capres, PKB juga begitu," jelas Adi.
Situasi ini diyakini bakal bertahan atau bahkan semakin kompleks apabila PDIP memilih untuk masuk dalam barisan. Maka koalisi besar lebih besar peluang batal dibandingkan bakal terbentuk.
"Makanya tidak mengherankan hingga sekarang ini masih sebatas silaturahmi dan penjajakan," kata Adi.
Khazanah Islam: Awas! Ini Sederet Posisi Seks yang Dilarang dalam Islam, tapi Nomor 2 Sering Dilakukan