Ilmu manthiq ialah ilmu logika atau kaidah berpikir. Dalam Islam, terdapat beberapa istilah lain ilmu ini, yakni pengukur akal, ilmu alat, dan kaidah berpikir.
Ilmu ini pertama kali dicetuskan di Yunani, oleh Aristoteles. Kini, ilmu ini telah tersebar dalam Islam melalui para pengagum dan pembelanya. Salah satu cara menyebarkan ilmu manthiq ialah dengan melakukan penerjemahan.
Nama manthiq sendiri berasal dari bahasa Arab ‘nathaqa’ yang artinya berpikir. Sejarahnya berangkat dari abad ke-5 SM di Yunani. Di masa ini, manthiq telah menjadi ilmu yang penting bagi para ahli filsafat Yunani.
Baca Juga: Apa Itu Manthiq? Ilmu Logika dan Filsafat dalam Islam
Pencetus ilmu manthiq dalam catatan ialah Socrates, kemudian dikembangkan oleh Plato dan disusun rapi oleh Aristoteles (384-322 SM). Kepentingan ilmu ini dilandasi statusnya yang merupakan ilmu pasti dalam mengambil sumber.
Konsepnya juga dari bentuk pemikiran manusia yang logis.
Sebab itu, sangat banyak orang yang mampu berpikir secara logis dan sistematis, tetapi tak memakai atau menguasai ilmu logika. Jadi, tentunya sudah banyak orang yang menerapkan pola berpikir logis tanpa mesti paham ilmu logika itu sendiri.
Baca Juga: Mengenal Ilmu Nahwu Sharaf: Kitab, Rumus, dan Contohnya
Saat Islam mulai tersebar di Jazirah Arab sekitar abad ke-7 M, perkembangan ilmu pengetahuan juga mulai mengalami kemajuan yang cukup pesat. Puncak perkembangannya terjadi semasa pemerintahan Dinasti Abbasiyah (750-1258).
Di masa ini, terjadi penerjemahan ilmu-ilmu filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab, termasuk soal ilmu manthiq.
Menurut Shalah al-Din al-Shafdi, terdapat dua metode penerjemahan yang dilakukan para ulama di masa itu: kata demi kata dan pemahaman garis besar sebuah paragraf.
Baca Juga: Perbedaan Ilmu Nahwu dan Ilmu Sharaf, Jangan Tertukar!
Metode garis pemahaman garis besar dianggap lebih baik dan mudah dipahami karena tak perlu pencernaan ulang atau penggunaan istilah buku.
Adapun para pemikir Islam yang turut mengembangkan ilmu manthiq terbagi ke dalam tiga kelompok besar, yakni:
Baca Juga: Sejarah dan Tiga Aliran Ilmu Ushul Fikih
- Golongan pertama: Pemikir Islam yang menafsirkan dan mengembangkan logika Aristoteles dengan lebih rinci lagi, seperti Ibn Rusyd.
- Golongan kedua: Ulama yang menerapkan kaidah-kaidah dasar logika secara bersamaan dengn dasar ilmu-ilmu keislaman, seperti al-Ghazali.
- Golongan ketiga: Ulama yang secara gigih mengembangkan dan membela eksistensi logika Aristoteles, seperti Ibn Sina dan al-Farabi.