Menu


Pernyataan Saling Ancam Mewarnai Rapat Komisi III-Mahfud, Jadi Bukti Belum Matangnya Demokrasi di Indonesia

Pernyataan Saling Ancam Mewarnai Rapat Komisi III-Mahfud, Jadi Bukti Belum Matangnya Demokrasi di Indonesia

Kredit Foto: Antara/Rivan Awal Lingga

Konten Jatim, Jakarta -

Rapat antara Komisi III DPR dengan Panitia TPPU yang diketuai Mahfud MD, Rabu (29/03/2023) lalu, jadi pembicaraan bagi banyak pihak. Anggota DPD Jimly Asshiddiqie juga terlibat dalam peristiwa yang diwarnai saling ancam itu. 

Ketika dihadirkan untuk memberi masukan terhadap substansi RUU Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Panja RUU MK di Komisi III DPR, Kamis (30/3/2023), Jimly menilai peristiwa tersebut sebagai potret peradaban demokrasi yang belum matang. Eks Ketua MK ini mengaku ikut memantau jalannya rapat secara daring.

Baca Juga: Lawan Komisi III, Mahfud MD Akui Sulitnya Usut Kasus Pencucian Uang di Kemenkeu

“Kekerasan verbal itu jauh lebih baik (dibanding kekerasan fisik). Tetapi tetap kekerasan verbal itu ciri peradaban demokrasi belum matang,” kata Jimly.

Rapat antara Komisi III DPR dengan Mahfud berlangsung panas diwarnai ancaman yang dilontarkan masing-masing pihak. Mahfud menyinggung adanya sanksi pidana menghalangi penyidikan dan adanya praktik makelar kasus (markus) pada awal memberi pemaparan adanya transaksi mencurigakan Rp349 triliun.

Sebaliknya anggota Komisi III menginterupsi dan memberi peringatan keras kepada Menko Polhukam. Rupanya Jimly menjadikan peristiwa tersebut sebagai salah satu argumen lemahnya demokrasi di negara ini yang perlu diperkuat melalui lembaga seperti MK.

Dalam rapat Panja RUU MK yang dipimpin Wakil Ketua Komisi III DPR Adies Kadir, Jimly mengingatkan pentingnya mengawal demokrasi. Eksistensi MK perlu dijaga karena memiliki penting dalam mengawal demokrasi.

“Jadi saya mengajak untuk berpikir jangka panjang,” ujar senator asal DKI.

Baca Juga: PSI: Mahfud MD Didukung, Kritik Gelagat DPR

Dia mengkritisi adanya bab evaluasi (recalling) hakim konstitusi yang dianggapnya lahir karena emosi. Jimly mengingatkan MK di dunia tidak mengenal pemecatan hakim konstitusi di tengah jalan. Sementara Indonesia menjadi negara ke-79 yang memiliki MK sejak 2003 lalu.

“Jadi misalnya MK memutuskan mengabulkan suatu perkara pengujian undang-undang, kita jangan bawa perasaan. Jangan anggap itu sebagai urusan kemarahan pribadi,” kata Jimly.

RUU MK seolah lahir merespons putusan yang menyatakan UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat. MK menilai penyusunan UU Ciptaker tidak memenuhi syarat formil. Belakangan DPR memberhentikan hakim Aswanto yang dianggap perwakilan dari DPR sehingga bisa diberhentikan pada masa jabatan.

“Sekarang ini antara kemarahan pribadi dengan tugas konstitusional campur aduk.  Apalagi para pejabat nge-tweet tiap hari. Enggak jelas ini apakah tweet pribadi atau jabatan,” kata Jimly.

Menurut Jimly adanya aturan evaluasi yang memberi kewenangan DPR, Mahkamah Agung (MA) dan presiden memberhentikan hakim konstitusi memperlemah demokrasi. Sebab hakim konstitusi harus independen dan imparsial. Aturan tersebut memberi legitimasi kepada lembaga yang berwenang mengusulkan hakim untuk mengintervensi.

Dia menganggap status Indonesia sebagai negara hukum dan demokrasi harus diperkuat bukan diperlemah. “Jadi bab mengenai evaluasi dan recalling itu enggak benar. Jadi saran saya, dicoret itu,” ujar sosok yang menjadi Ketua MK pertama.

Khazanah Islam: Awas! Ini Sederet Posisi Seks yang Dilarang dalam Islam, tapi Nomor 2 Sering Dilakukan

Artikel ini merupakan kerja sama sindikasi konten antara Konten Jatim dengan Akurat.