Sifat wara’ adalah sifat di mana seorang Muslim berhati-hati dalam menerima informasi yang tidak jelas sumber asalnya dan memilih untuk menghindari informasi tersebut serta melakukan sesuatu yang sudah pasti benar dalam Agama Islam.
Perlu dipahami bahwa sifat wara’ bukanlah sifat yang dimiliki oleh banyak orang, mengingat tidak mudah untuk menerapkan sifat kehati-hatian ini. Lebih mudah menerima apa yang di depan mata dibandingkan bersikap skeptis dan memastikan ulang fakta.
Meskipun tidak mudah untuk dicapai, keistimewaan sifat wara’ membuat ada baiknya orang-orang mencoba untuk selalu mencoba menerapkan sifat mulia ini. Berikut penjelasan lengkapnya melansir Republika pada Selasa (28/3/2023).
Baca Juga: Apa Itu Wara’? Meninggalkan Hal yang Tidak Jelas dalam Islam
Keistimewaan Sifat Wara’
Dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW kalo sifat wara’ bisa membuat seseorang terhindar atau terjerumus ke dalam sifat buruk. Karena, banyak dari informasi-informasi ini yang bisa dikatakan sesat dan dipakai untuk menjerumuskan seseorang dalam perbuatan tidak terpuji.
Ini sesuai dengan arti dari kata wara' itu sendiri, yang berarti “berhati-hati terhadap segala hal yang mempunyai potensi keburukan”. Ini menyebabkan kehati-hatian yang dimiliki seseorang dapat memilih jalan yang baik lagi maslahat.
Jika dirinci, Rasulullah SAW mengungkapkan beberapa alasan mengapa seorang Muslim harus memiliki sifat wara'. Berikut penjelasan lebih rincinya berdasarkan informasi dari kitab Wasiatul Mustofa yang disusun oleh Imam Asy Syakran.
1. Menyempurnakan Iman
يَا عَلِيُّ، لَا دِيْنَ لِمَنْ لَا خَشْيَةَ لَهُ وَلَا عَقْلَ لِمَنْ لَا عِصْمَةَ لَهُ وَلَا إِيْمَانَ لِمَنْ لَا وَرَعَ لَهُ وَلَا عِبَادَةَ لِمَنْ لَا عِلْمَ لَهُ وَلَا مُرُوْءَةَ لِمَنْ لَا صَدَقَةَ لَهُ وَلَا أَمَانَ لِمَنْ لَا سِرَّ لَهُ وَلَا تَوْبَةَ لِمَنْ لَا تَوْفِيْقَ لَهُ وَلَا سَخَاءَ لِمَنْ لَا حَيَاءَ لَهُ
Artinya: “Wahai Ali tidak ada agama bagi orang yang tidak punya rasa takut (maksudnya segala perbuatan maksiat dikerjakan tanpa ada rasa takut akan hari pembalasan maka orang tersebut sama seperti tidak memiliki agama), tidak ada akal bagi seseorang yang tidak bisa menjaga (maksudnya orang yang tidak dapat menjaga ucapan dan perilakunya sama seperti orang yang hilang punya akal alias orang gila. Sebab fungsi akal itu adalah untuk mengontrol perilaku dan ucapan), tidak ada iman bagi seseorang tanpa memiliki sifat wara', tidak ada ibadah bagi seseorang tanpa ilmu (ibadah menjadi sia-sia bila seorang hamba tidak tahu ilmunya. Semisal ibadah sholat tapi tidak mengetahui adanya syarat sah dan batalnya sholat dan lainnya). Dan tidak ada kehormatan bagi seseorang yang tidak sedekah (maknanya oang yang pelit tidak akan pernah terhormat), tidak aman bagi orang yang tidak bisa menjaga rahasia, tidak ada taubat orang yang tidak ada taufik (maknanya dalam taubat selain ada ucapan taubat harus disertai perbuatan sungguh-sungguh untuk meninggalkan dosa yang telah dilakukan dan sungguh-sungguh mengerjakan kebajikan maka dengan itu taubatnya tidak menjadi sia-sia), tidak ada kedermawanan tanpa adanya rasa malu (maknanya orang yang tak punya malu dia akan selalu menjadi peminta-minta, sedangkan orang yang punya malu pasti akan berusaha menjadi orang yang memberi).
Baca Juga: Hukum Membakar Al-Qur’an dalam Agama Islam: Diizinkan, Asal…
2. Tidak Punya Sifat Wara’ Sama Saja dengan Tidak Pantas di Bumi
يَا عَلِيُّ، مَنْ لَمْ يَكُنْ وَرَعًا عَنِ الْمَعَاصِيْ فَبَطَنُ الْأَرْضِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ ظَهْرِهَا لِأَنَّهُ لَا إِيْمَانَ فِيْ قَلْبِهِ
Artinya: “Wahai Ali siapa orang yang tidak wara' terhadap kemaksiatan maka perut bumi lebih baik baginya dibanding di atas permukaan bumi (artinya ia lebih baik mati dibanding hidup terus menambah dosa dengan maksiatnya, karena sesungguhnya tidak ada iman dalam hatinya orang yang tidak wara'.”
3. Sudah Pasti Terhindar dari Perbuatan Haram
يَا عَلِيُّ، أَصْلُ الْوَرَعِ تَرْكُ الْحَرَامِ وَمَا حَرَّمَ اللهُ وَرَأْسُ الْكَرَمِ فِيْ تَرْكِ الْمَعَاصِيْ
Artinya: “Wahai Ali, intinya wara' itu meninggalkan barang haram dan apa-apa yang telah diharamkan Allah, dan pangkal kemuliaan itu adalah dengan meninggalkan kemaksiatan. (Maksudnya orang yang meninggalkan barang haram, berarti meninggalkan maksiat, maka orang tersebut telah menuju pada kemuliaan).”