Menu


Dalil Aqli: Urgensi Akal yang Sangat Tinggi dalam Syariat

Dalil Aqli: Urgensi Akal yang Sangat Tinggi dalam Syariat

Kredit Foto: Unsplash/Abdullah Faraz

Konten Jatim, Jakarta -

Dalil aqli merupakan dalil yang berdasarkan akal manusia. Akal merupakan daya pikir yang diciptakan Allah SWT yang bisa melahirkan aktivitas pemikiran yang berguna.

Sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Isra ayat 70:

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ

“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkat mereka di daratan dan di lautan….” [Al-Israa/17: 70]

Mengutip laman Almanhaj, syariat Islam memberikan nilai dan urgensi yang sangat tinggi terkait akal manusia. Hal ini bisa dilihat dalam beberapa poin berikut:

Baca Juga: Apa Itu Dalil Aqli? Dalil dari Akal Manusia yang Penting

Pertama, Allah hanya menyampaikan kalam-Nya kepada orang yang berakal karena hanya mereka yang bisa memahami agama dan syariat-Nya. Allah berfirman:

“…Dan merupakan peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal.” [Shaad/38: 43]

Kedua, akal ialah syarat yang harus ada dalam diri manusia untuk bisa menerima taklif atau beban hukum dari Allah. Hukum-hukum syariat tidak berlaku bagi mereka yang tak menerima taklif, yakni orang gila yang kehilangan akalnya.

Rasulullah SAW bersabda:

“Pena (catatan pahala dan dosa) diangkat (dibebaskan) dari tiga golongan: orang yang tidur sampai bangun, anak kecil sampai bermimpi (baligh), orang gila sampai ia kembali sadar (berakal).”[4]

Ketiga, Allah mencela orang yang tak menggunakan akalnya, seperti celaan terhadap ahli neraka yang tak memakai akal. Firman-Nya:

“Dan mereka berkata: ‘Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni Neraka yang menyala-nyala.” [Al-Mulk/67: 10]

Keempat, ada begitu banyak penyebutan proses dan anjuran berpikir dalam Al-Qur’an, seperti tadabbur, tafakkur, ta-aqqul, dan lainnya. 

Baca Juga: Apa Itu Dalil Naqli? Dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah yang Dasar

Maka, kalimat seperti “la’allakum tatafakkaruun” (mudah-mudahan kamu berfikir), atau “afalaa ta’qiluun” (apakah kamu tidak berakal), atau “afalaa yatadabbaruuna Al-Qur-ana” (apakah mereka tidak mentadabburi atau merenungi isi kandungan Al-Qur’an) dan lainnya.

Kelima, Islam mencela taqlid yang membatasi dan melumpuhkan fungsi dan kerja akal. Allah berfirman:

“Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah, mereka menjawab: ‘Tidak! Tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami. 

Baca Juga: Sederet Contoh Dalil Naqli dalam Al-Qur’an dan Hadits

“(Apakah mereka akan mengikutinya juga) walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” [Al-Baqarah/2: 170]

Taqlid sendiri ialah menerima pendapat orang lain tanpa dilandasi dalil.

Keenam, Islam memuji orang yang menggunakan akalnya dalam memahami dan mengikuti kebenaran. Allah berfirman:

“…Sebab itu sampaikanlah berita (gembira) itu kepada hamba-hamba-Ku yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.” [Az-Zumar/39: 17-18]

Ketujuh, pembatasan wilayah kerja akal dan pikiran manusia, sebagaimana firman Allah: 

“Mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: “Ruh itu adalah urusan Rabb-ku. Dan tiadalah kalian diberi ilmu melainkan sedikit.” [Al-Israa/17: 85]

Ahlussunnah wal Jamaah memandang atas penggunaan akal, bahwasanya syariat didahulukan di atas akal karena syariat itu ma’shum sedangkan akal tidak. Akal juga punya kemampuan mengenal dan memahami yang bersifat global, tak bersifat detail. 

Baca Juga: Benarkah Dalil Hukum Syar’i Hanya Al-Qur’an dan Hadits?

Adapun, dianggap bahwa yang benar dari hukum-hukum akal tentulah tak bertentangan dengan syariat. Apa yang salah dari pemikiran akal ialah yang bertentangan dengan syariat. Adapun, penentuan hukum-hukum seperti wajib, haram, dan lainnya ialah hak prerogatif syariat.