Guru Besar Hukum Pidana Internasional Universitas Padjadjaran (Unpad) Prof. Dr. Romli Atmasasmita memberikan komentar terkait keputusan Pengadilan Negeri (PN) Surabaya dalam sidang vonis tragedi Kanjuruhan.
Romli menilai hukuman tersebut tak menyalahi aturan hukum. Majelis Hakim PN Surabaya pun dianggap telah mendukung Hak Asasi Manusia (HAM) melalui proses penetapan tersebut.
Alasan pertama, dalam perkembangan saat ini perlindungan HAM menjadi salah satu hal utama yang dipertimbangkan dalam proses hukum di samping filosofi Pancasila dan filosofi pembalasan (lex talionis).
Baca Juga: Curhat Alissa Wahid Soal Vonis Tragedi Kanjuruhan: Gerus Rasa Percaya pada Pengadilan dan Polisi
"Contohnya, wujud perlindungan hak asasi manusia dalam hukum pidana adalah asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence), non-self incriminating evidence, ne bis in idem, in dubio pro reo, dan abus de droit," ujar Prof Romli tertulis, Senin (20/3).
Lebih lanjut, Romli mengatakan sejak dilakukan perubahan konstitusi UUD '45, semua pihak termasuk pakar hukum dan HAM seharusnya secara beriringan memahami ketentuan HAM, Bab XA, Pasal 28 A sd Pasal 28 I dan ketentuan Kewajiban Asasi Manusia dalam Pasal 28 J.
Pasal 28 J itu berbunyi: (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Baca Juga: Dua Terdakwa Tragedi Kanjuruhan Divonis Bebas, Kajagung Siap Banding
"Dalam hal ini telah terjadi ketidakseimbangan pandangan mengenai hak dan kewajiban asasi manusia yang terus berlanjut tanpa koreksi yang terbaik dari para ahli atau pakar hukum pada umumnya, khusus ahli hukum dan hak asasi manusia bahwa di dalam setiap HAK selalu melekat KEWAJIBAN ASASI yang harus dipahami secara seimbang dan untuk saling dihormati," tuturnya.
Alasan kedua yang diyakini oleh Romli adalah pendekatan kasus melalui teori sebab-akibat Von Buri. Teori ini, lanjut Romli, lebih mengutamakan sebab terdekat dari suatu peristiwa untuk menentukan siapa penyebab dari suatu tindak pidana dari sekian banyak sebab.
Apabila dilihat dari konteks kasus Kanjuruhan, Romli menilai sebab terdekat penyebab 135 orang meninggal tersebut adalah stadion yang sudah tidak layak, terutama pintu gerbang 13.
Gerbang tersebut hanya seperempat terbuka sehingga banyak korban terinjak-injak sampai tewas saat mencari jalan keluar.
"Sebab terjauh adalah gas air mata yang mengakibatkan dua petugas Polri meninggal di lapangan yang didukung provokasi beberapa oknum suporter untuk menyerbu lapangan dan petugas di lapangan. Keadaan chaos yang sudah tidak terkendali menimbulkan keadaan darurat (overmacht)," jelasnya.
Baca Juga: Vonis Bebas 2 Polisi Terdakwa Tragedi Kanjuruhan, Kejagung Ajukan Banding
Alasan terakhir, tidak adil jika beban pertanggungjawaban pidana selalu dilekatkan pada jabatan yang disandang seseorang, seperti pihak kepolisian. Pasalnya, kata dia, metoda beban pertanggungjawaban seperti itu hanya mencari dan menemukan kebenaran formil.
“Tujuan hukum pidana sebenarnya, selain telah diuraikan di atas, juga mencari dan menemukan kebenaran materiil. Kebenaran sesungguhnya yaitu penyebab nyata dari suatu peristiwa pidana," pungkasnya.
Khazanah Islam: Masuk Daftar Nominator Warisan Budaya Tak Benda, Reog Ponorogo Segera Diakui UNESCO