Ulama asal Cirebon, Yahya Zainul Maarif alias Buya Yahya menerangkan soal hukum merayakan tradisi ruwahan jelang Ramadan. Buya Yahya menyebut tradisi tersebut justru sebaiknya terus dilakukan lantaran menjadi ajang silaturahmi dan berbagi.
Keyakinan orang-orang tentang ruh juga perlu dijelaskan secara pasti. Jika ruh yang dimaksud adalah mereka yang telah tiada, maka mendoakannya merupakan hal yang justru baik.
Baca Juga: Bertemu Dengan Jokowi, Megawati Menceritakan Hal yang Bersifat Rahasia di Istana
“Yang perlu dijelaskan adalah keyakinan tentang ruh itu bagaimana? kalau yang dimaksud ruh itu adalah orang-orang yang telah meninggal dunia daripada orang yang beriman yang telah mendahului kita, kemudian kita mendoakannya, kapan saja kita boleh mendoakan,” ujar Buya Yahya, dikutip dari kanal YouTube Al-Bahjah TV, Senin (20/3/2023).
Selain itu, tradisi membagikan makanan jelang Ramadan juga memiliki makna yang cukup besar dan agung.
“Untuk yang hidup adalah menjalin silaturahim, saling memberi, tukar menukar makanan agar terjalin silaturahmi, dan itu suasana indah,” terang Buya Yahya.
Ia juga mengatakan, justru tradisi tersebut tak seharusnya dihilangkan, karena mampu menjalin keakraban kepada sesama.
“Dan jangan dihilangkan, justru itu mukaddimah, keakraban sebelum kita memasuki bulan ramadan, sehingga sah-sah saja yang demikian,” ujarnya.
Baca Juga: Kritisi Fokus DPR ke Bansos, Fahri Hamzah: Makan Gaji Buta Itu Enggak Benar!
Tak hanya tradisi membagikan makanan dan berkunjung ke sanak saudara, tradisi mendoakan arwah leluhur juga menjadi bagian dari tradisi ruwahan.
“Kemudian setelah itu di dalamnya ada doa-doa untuk orang terdahulu kita, dan maknanya adalah mendoakan, dan itu bahkan dianjurkan,” kata Buya Yahya.
Dalam pengertian ini, arwah yang dimaksud adalah mendoakan orang yang telah pergi mendahului orang yang masih ada.
“Sebenarnya maksudnya arwah-arwah itu adalah orang yang telah mendahului kita, kita doakan mereka, hal yang baik, kebiasaan yang baik,” ujarnya.
Buya Yahya menerangkan tradisi kampung yang sering dikonotasikan buruk. Ia menceritakan awal mula pengubahan kebiasaan buruk itu menjadi keyakinan yang benar.
Baca Juga: Bertemu Dengan Jokowi, Megawati Bahas Soal Pelaksanaan Pemilu
“Kami masih ingat kok dulu masih ada tradisi di kampung yang konon katanya ada orang kumpul di perempatan namanya bersih desa atau apa,” terangnya.
“Kumpul di perempatan, lalu dulu kalau dukun komat-kamit baca mantera, lalu ada orang-orang sholeh menganggap ini satu kesempatan untuk membawa mereka dari meyakini hal yang tidak benar menjadi yang benar,” sambungnya.
Hingga kini, perkumpulan-perkumpulan itu tetap diadakan, namun berubah menjadi perkumpulan dengan keyakinan yang benar.
“Perkumpulannya tetap diadakan, cuman di perkumpulan tersebut diubah menjadi Rabbana, atina fid dunya hasanah, nggak ada lagi penyebutan tentang suatu keyakinan yang salah,” ujar Gus Yahya.
Baca Juga: NU Dukung AHY Jadi Cawapres Anies Baswedan
Sehingga, selagi perkumpulan tersebut masih bisa diarahkan sesuai dengan syariatnya, maka, kata Buya Yahya, hal itu bisa terus dilanjutkan karena justru menjadi amalan yangbaik.