PDI Perjuangan (PDIP) mendukung sistem proporsional tertutup untuk Pileg. Namun hal tersebut diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan bahwa MK lebih independen. Makanya masalah ini memang seharusnya dibawa ke MK, meski banyak kalangan menilai hal ini harusnya cukup dibahas di DPR RI.
Baca Juga: Hasto Kristiyanto Mewanti-wanti Anggota DPR Fraksi PDIP Di Atas 3 Periode, Tidak Bisa Terpilih Jika
"Kita percayakan ini kepada MK dalam mengambil keputusan yang independen dan merdeka. Tidak boleh masuk ke dalam kepentingan politik praktis," ujar Hasto, mengutip fajar.co.id, Rabu (8/3/2023).
Sistem terbuka dianggap membuat Pileg makin pragmatis. Melanggengkan money politics hingga menciptakan kader instan menuju kursi legislatif. Bahkan tak sedikit anggota legislatif tak mumpuni menjadi wakil rakyat.
"Tertutup juga memiliki kelemahan dengan adanya keputusan elitis. Tetapi, partai harus bertanggung jawab, kenapa harus menempatkan kadernya pada nomor urut 1, 2, dan 3. Itu harus diumumkan ke publik sebagai proses akuntabilitas, sehingga dapat dipastikan demokratisasi partai berjalan dengan baik," ujar Hasto.
Peserta pemilu berdasarkan UU adalah partai politik bukan orang per orang. Jalur orang per orang itu dibuka untuk calon senator atau DPD. "Kalau partai politik adalah jalur kepentingan kolektif. Sehingga partai akan kokoh pada ideologi dan platform jati dirinya sesuai dengan kultur partai," jelasnya.
Saat ini MK sedang melakukan serangkaian sidang uji materiil aturan mengenai sistem proporsional terbuka. Perkara pengujian UU Pemilu ini diajukan oleh Demas Brian Wicaksono (pengurus PDIP), Yuwono Pintadi (anggota Partai Nasdem), Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono.
Anggota Fraksi Partai Golkar DPR RI Muhammad Fauzi menilai gagasan proporsional tertutup adalah bentuk kemunduran demokrasi. Sebab, jika pemilu kembali ke sistem proporsional tertutup, partai-lah yang memegang peranan lebih dominan dalam menentukan caleg yang terpilih.
“Demokrasi kita akan mundur selangkah. Sebab, bukan lagi pilihan terbanyak masyarakat yang terpilih tetapi lebih ke pilihan partai,” jelas Fauzi.
Konsekuensi lainnya saat caleg terpilih, hubungan emosional legislator dengan konstituen akan semakin minim. Karena masyarakat tidak bisa memilih langsung wakilnya, tapi hanya memilih partai dan nomor urut.
“Legislator ini kan selain memang patuh pada partai juga tak bisa dipisahkan dengan tanggung jawab dia ke konstituen dapilnya. Proporsional tertutup akan mengikis itu,” katanya.
Menurutnya, sistem proporsional terbuka sebelumnya diterapkan juga atas hasil putusan MK. Kala itu sistem proporsional tertutup dinilai tidak membuka partisipasi langsung masyarakat menentukan wakilnya.
“Ini juga sesuai amanat reformasi yang menginginkan pemilihan langsung. Jika kembali ke tertutup demokrasi kita tidak bertumbuh. Setiap sistem pasti ada kekurangan, kalau pun ada minornya itu saja yang dibenahi jangan gonta-ganti sistem apalagi mundur,” terangnya.
Anggota DPR RI Dapil Sulsel III ini juga melayangkan kritik ke anggota KPU yang memunculkan polemik soal kemungkinan proporsional tertutup. Hal ini dinilai tidak pas, sebab masih berproses di MK.
Khazanah Islam: Awas! Ini Sederet Posisi Seks yang Dilarang dalam Islam, tapi Nomor 2 Sering Dilakukan