Menu


Sebut Pattimura Beragama Islam, Ustadz Adi Hidayat Dibilang Bikin Citra Islam Jadi Konyol dan Malu-maluin: 'Obat Dari Kebodohan itu Ilmu'

Sebut Pattimura Beragama Islam, Ustadz Adi Hidayat Dibilang Bikin Citra Islam Jadi Konyol dan Malu-maluin: 'Obat Dari Kebodohan itu Ilmu'

Kredit Foto: Tangkapan layar YouTube Adi Hidayat Official

Konten Jatim, Jakarta -

Klaim sepihak Ustadz Adi Hidayat yang menyebut pahlawan nasional Kapitan Pattimura beragama Islam membuatnya menjadi sasaran kemarahan banyak pihak.

Salah satu yang marah atas klaim sepihak Ustadz Adi Hidayat itu adalah Pengurus Cabang Istimewa NU (PCINU) Amerika Akhmad Sahal.

Pria yang akrab disapa Gus Sahal itu geram lantaran klaim sepihak itu bukan kali pertama terjadi.

"Setelah Napoleon, Gajah Mada, Candi Borobudur…kini Pattimura pun diklaim beragama Islam," kata Gus Sahal, dikutip Konten Jatim dari akun Twitter @sahaL_AS, Selasa (6/7/2022).



Menurut Gus Sahal, apa yang dilakukan Ustadz Adi Hidayat ini justru malah membuat citra Islam menjadi konyol dan memalukan.

Hal itu dikarenakan Ustadz Adi Hidayat miskin ilmu pengetahuan, sehingga beriman tanpa ilmu tetap saja ngawur.

"Othak athik gathuk kayak gini justru bikin citra Islam jadi konyol dan malu-maluin," terangnya.

"Obat dari kebodohan itu ilmu. Bukan iman. Beriman tanpa ilmu ya tetap aja gob**," sambungnya.

Baca Juga: Usai Ajari Posisi Tidur untuk Lunasi Utang, Ustadz Adi Hidayat Dibully Gara-gara Bilang Pattimura Beragama Islam

Diberitakan sebelumnya, Pendakwah Ustadz Adi Hidayat (UAH) membuat heboh publik lantaran pernyataannya yang menyebut Kapitan Pattimura sebagai muslim.

Hal itu seperti terlihat dari cuplikan video yang diunggah oleh akun Twitter @yaniarsim pada Minggu (3/7/2022).

Dalam video itu, Ustadz Adi Hidayat pada awalnya mengungkapkan bahwa nama asli Kapitan Pattimura bukan Thomas Matulessy.

Ia menyebut Ahmad Lusi sebagai nama asli pahlawan yang berasal dari Maluku tersebut.


Menurut Ustadz Adi Hidayat, nama Ahmad Lusi itu bukan sembarang nama yang ia sampaikan begitu saja, sebab nama asli Kapitan Pattimura itu didapatnya dari pakar sejarah.

"Dulu pernah lihat uang 1000, di uang 1000 itu ada satu gambar namanya siapa Kapitan Pattimura siapa nama aslinya Thomas Matulessy," ucap Ustadz Adi Hidayat.

"Lihat baik-baik banyak orang yang menyebut Thomas Matulessy, kami berusaha mencari, tanya pakar sejarah dikumpulkan Allahu Akbar ternyata nama asli Kapitan Pattimura itu bukan Thomas Matulessy tapi Ahmad Lusi," sambungnya.



Ustadz Adi Hidayat kemudian menduga bahwa ada yang sengaja mempermainkan sejarah bangsa Indonesia dengan kepentingan tertentu.

Dia menyebut penyimpangan sejarah dilakukan agar generasi bangsa tidak paham tentang pahlawan di masa lalu.

Baca Juga: Dibully Karena Sebut Pattimura Muslim, Inikah Pakar Sejarah yang Ustadz Adi Hidayat Jadikan Sumber?

Termasuk seorang Ahmad Lusi yang sebenarnya adalah seorang pimpinan pondok pesantren yang berjuang menegakan kebenaran di tanah air ini.

"Ahmad Lusi itu beliau adalah seorang pejuang, kyai, pemimpin pesantren dan arah-arahkan anak santrinya untuk berjuang menegakan kebenaran di bumi pertiwi ini,' terangnya.

Lebih jauh, Ustadz Adi Hidayat menjelaskan soal alasan dibalik dirubahnya nama Ahmad Lusi menjadi Thomas Matulessy.

Hal itu menurutnya dilakukan agar tak ada orang yang mengira Ahmad Lusi dekat dengan sang pencipta, karena itu namanya diganti menjadi Thomas Matulessy.

"Makanya kenapa Ahmad Lusi tiba-tiba berubah jadi Thomas. Saya mau katakan bahwa kalau disebutkan Thomas, orang tidak ingat bahwa orang ini dekat dengan Allah SWT, lanjutnya.

Tak hanya itu, Ustadz Adi Hidayat juga menyinggung soal orang Barat yang kerap merubah nama-nama tokoh muslim.


Di antaranya adalah Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd yang namanya diganti dengan tujuan genarasi muslim tidak mengetahui sejarah aslinya.

"Ibnu Sina diubah jadi Avicenna. Ibnu Rusyd diganti jadi averroes dan lain sebagainya, diganti nama-namanya supaya generasi berikutnya tidak ingat bahwa ada orang-orang yang ketika mewujudkan kemerdekaan mereka malamnya tahajud, siangnya puasa dan bergerilya dan sebagainya," pungkasnya.

Menurutnya hal sama pun dilakukan terhadap Kapitan Pattimura yang bernama asli Ahmad Lusi diganti menjadi Thomas Matulessy.

Namun berdasarkan catatan sejarah yang ada sejauh ini dan diajarkan di sekolah, Kapitan Pattimura memiliki nama asli Thomas Matulessy bukan Ahmad Lussi seperti yang disebut Ustadz Adi Hidayat.



Thomas Matulessy ini adalah seorang pahlawan nasional Indonesia yang berasal dari Maluku.

Ia lahir di Haria, Saparua, Maluku Tengah pada 8 Juni 1783 dari keluarga bermarga Matulessy.

Nama Matulessy diambil dari sang ayah yang bernama Frans Matulessy, sementara ibunya memiliki nama Fransina Silahoi.

Melansir laman Kemendikbud, sebelum melakukan perlawanan terhadap VOC ia pernah berkarir dalam militer sebagai mantan sersan Militer Inggris.

Namanya kemudian dikenal karena memimpin perlawanan rakyat Maluku melawan Belanda melalui perang Pattimura.

Sejak abad ke 17 dan 18 berlangsung serentetan perlawanan bersenjata melawan Belanda (VOC) dikarenakan terjadi praktik penindasan kolonialisme Belanda dalam bentuk monopoli perdagangan, pelayaran hongi, kerja paksa dan sebagainya.

Penindasan tersebut dirasakan dalam semua sisi kehidupan rakyat, baik segi sosial ekonomi, politis dan segi sosial psikologis.


Selama dua ratus tahun rakyat Maluku mengalami perpecahan dan kemiskinan. Rakyat Maluku memproduksi cengkeh dan pala untuk pasar dunia, namun mayoritas masyarakat tidak ada keuntungan dari sisi ekonomi yang dirasakan.

Alih-alih mendapatkan keuntungan, rakyat Maluku justru semakin menderita dengan adanya berbagai kebijakan seperti pajak yang berat berupa penyerahan wajib (Verplichte leverantien) dan contingenten serta blokade ekonomi yang mengisolasi rakyat Maluku dari pedagang-pedagang Indonesia lain.

Pada fase kedua pendudukan Inggris di Maluku pada tahun 1810 – 1817 harus berakhir pada tanggal 25 Maret 1817 setelah Belanda kembali menguasai wilayah Maluku.

Rakyat Maluku menolak tegas kedatangan Belanda dengan membuat “Proklamasi Haria” dan “Keberatan Hatawano”. Proklamasi Haria disusun oleh Pattimura.

Ketika pemerintah Belanda mulai melaksanakan kekuasaannya melalui Gubernur Van Middelkoop clan Residen Saparua Johannes Rudolf van der Berg,pecahlah perlawanan bersenjata rakyat Maluku.

Diadakan musyawarah dan konsolidasi kekuatan dimana pada forum-forum tersebut menyetujui Pattimura sebagai kapten besar yang memimpin perjuangan.

Pada tanggal 7 Mei 1817 dalam rapat umum di Baileu negeri Haria, Thomas Matulessy dikukuhkan dalam upacara adat sebagai “Kapitan Besar”.

Setelah dilantik sebagai kapten, Pattimura memilih beberapa orang pembantunya yang juga berjiwa ksatria, yaitu Anthoni Rhebok, Philips Latimahina, Lucas Selano, Arong Lisapafy, Melchior Kesaulya dan Sarassa Sanaki, Martha Christina Tiahahu, dan Paulus Tiahahu.

Pattimura bersama Philips Latumahina dan Lucas Selano melakukan penyerbuan ke benteng Duurstede.

Berita tentang jatuhnya benteng Duurstede ke tangan pasukan Pattimura dan pemusnahan orang-orang Belanda, menggoncangkan dan membingungkan pemerintah Belanda di kota Ambon.

Gubernur Van Middelkoop dan komisaris Engelhard memutuskan militer yang besar ke Saparua di bawah pimpinan mayor Beetjes. Ekspedisi tersebut kemudian disebut dengan ekspedisi Beetjes.

Mengetahui hal tersebut, dengan segera Kapitan Pattimura mengatur taktik dan strategi pertempuran.
Pasukan rakyat sekitar seribu orang diatur dalam pertahanan sepanjang pesisir mulai dari teluk Haria ,sampai ke teluk Saparua.

Pattimura bersama pasukannya berhasil mengalahkan Beetjes dan tentaranya.



Pada tanggal 20 Mei 1817 diadakan rapat raksasa di Haria untuk mengadakan pernyataan kebulatan tekad melanjutkan perjuangan melawan Belanda.

Peringatan kebulatan tekad ini dikenal dengan nama Proklamasi Portho Haria yang berisi 14 pasal pernyataan dan ditandatangani oleh 21 Raja Patih dari pulau Saparua dan Nusalaut.

Proklamasi ini membangkitkan semangat juang yang mendorong tumbuhnya front-front pertempuran di berbagai tempat bahkan sampai ke Maluku Utara.

Pada tanggal 4 Juli 1817 sebuah armada kuat dipimpin Overste de Groot menuju Saparua dengan tugas menjalankan vandalisme.

Seluruh negeri di jazirah Hatawano dibumi hanguskan. Siasat berunding, serang mendadak, aksi vandalisme, dan adu domba dijalankan silih berganti. Belanda juga melancarkan politik pengkhianatan terhadap Pattimura dan para pembantunya.

Pada tanggal 11 November 1817 dengan didampingi beberapa orang pengkhianat, Letnan Pietersen berhasil menyergap Pattimura dan Philips Latumahina.

Para tokoh pejuang akhirnya dapat ditangkap dan mengakhiri pengabdiannya di tiang gantungan pada tanggal 16 Desember 1817 di kota Ambon.

Untuk jasa dan pengorbanannya itu, Kapitan Pattimura dikukuhkan sebagai pahlawan perjuangan kemerdekaan oleh pemerintah Republik Indonesia. Pahlawan Nasional Indonesia.

Khazanah Islam: Masuk Daftar Nominator Warisan Budaya Tak Benda, Reog Ponorogo Segera Diakui UNESCO