Menu


Jokowi, Pemimpin 'Inward-Looking' yang Kini Muncul Pegang Peranan Strategis dalam Misi Perdamaian Dunia

Jokowi, Pemimpin 'Inward-Looking' yang Kini Muncul Pegang Peranan Strategis dalam Misi Perdamaian Dunia

Kredit Foto: Instagram/jokowi

Konten Jatim, Jakarta -

Perang di zaman super modern seperti sekarang tentu sangat tidak populer dan membahayakan seluruh umat manusia di bumi.

Perang adalah sebuah kebodohan kolektif. Jika seluruh persenjataan sangat super modern dikeluarkan atas dasar emosi dan marah para pemimpinnya, tentu yang terancam bukan hanya negara yang berperang tapi seluruh isi bumi.

Bayangkan, bom nuklir teknologi setengah abad yang lalu saja sudah mampu membumihanguskan dua kota di Jepang. Teknologi persenjataan modern zaman sekarang pasti lebih dahsyat daya hancurnya dibandingkan tujuh dekade lalu.

Jadi, apa yang akan terjadi jika kecanggihan super dari peralatan perang zaman ini diterapkan dengan cara yang sama seperti di Hiroshima dan Nagasaki?



Atas dasar itu, pemimpin negara besar yang jengah harus berpikir lebih jauh akibat dari perang seperti sekarang ini. Sebaliknya, harus ada lebih banyak pemimpin yang hadir menjalankan misi perdamaian dibanding yang unjuk kegagahan dan kepongahan untuk mengobarkan perang seperti pada masa Perang Dunia I dan II.


Dari sisi pandangan seperti ini, misi perdamaian yang dilakukan Presiden Joko Widodo ke Ukraina dan Rusia merupakan secercah harapan dan langkah awal untuk bumi yang lebih damai dan jauh dari perang. Upaya perdamaian ini patut diacungi jempol dan tidak boleh berhenti. Bahkan harusnya dilanjutkan oleh menteri di bawahnya. 

Akhirnya, setelah hampir delapan tahun sering absen di forum-forum internasional, Jokowi muncul dan memerankan peran yang tepat dalam menjalankan politik bebas aktif sesuai yang diamanatkan dalam UUD 1945. Citra dan kesan bahwa Jokowi “inward-looking” mulai pupus.



Jokowi memang sering absen dalam pertemuan-pertemuan internasional. Namun, sekalinya muncul, dia langsung memainkan peran yang strategis bagi dunia. Peranan ini juga sangat penting bagi Indonesia karena ini merupakan amanat UUD 1945.

Ini adalah permulaan yang sangat baik. Cukup mengejutkan melihat Jokowi berani mengambil keputusan dengan resiko bahaya yang tidak kecil ini. Apalagi dia melakukannya bersama Ibu Negara. 

Setelah bertemu Presiden Rusia Vladimir Putin, misi perdamaian ini perlu dilanjutkan dalam kunjungan ke negara-negara besar di dalam G-20 sendiri, terutama Cina yang sekarang tetap menahan diri. Jokowi juga perlu hadir berpidato di forum PBB untuk menyuarakan perdamaian dunia. Para menterinya perlu mempersiapkan panggung jika momentum kunjungan ini mendapat sambutan yang baik dari kedua belah pihak. 


Diplomasi ke pihak NATO juga perlu dilanjutkan lebih mendalam oleh para menterinya. Pasalnya, NATO merupakan akar dan sumber masalah dari konflik saat ini dan di masa mendatang.

Aneh memang melihat NATO ini. Pada masa damai saat ekonomi jadi prioritas utama seluruh dunia, NATO justru unjuk kekuatan dan menggerek misi mendominasi dunia.

Satu hal yang begitu naif, konflik mengerikan ini terjadi ke sesama negara anggota G20 sendiri yang keseluruhan anggotanya sering bertemu. Artinya, ada keseimbangan yang tidak dijaga.

NATO terus melebarkan sayap di masa damai dan ini merupakan ancaman bagi Putin. Akar masalah inilah yang harus dicarikan titik temunya.

Upaya mendamaikan tentu tidak bisa dilakukan dengan hanya menyalahkan satu pihak sembari terus memberi pembenaran pada yang lain. Kesalahan mengambil posisi di dalam PBB ini bisa dihapus dengan peran strategis yang sedang dilakukan oleh Jokowi sekarang.

Posisi presidensi Indonesia di dalamnya sangat strategis dan menguntungkan bagi Jokowi dan Indonesia untuk berperan. Kelembagaan G20 sangat penting dan mungkin lebih penting dari PBB. Pasalnya, PBB yang ada saat ini tak lebih negara-negara gangster dengan watak ingin menguasai, mendominasi, dan bahkan jika bisa meniadakan eksistensi negara tertentu. PBB sulit diharapkan berperan untuk mendamaikan perang Rusia-Ukraina karena posisinya sudah berpihak.

Misi perdamaian ini tidak mesti dijalankan sendiri, tetapi perlu untuk mengajak negara besar untuk bersikap seperti Indonesia dengan politik bebas aktifnya.


Sebagian kalangan memang menganggap Pemerintah Indonesia harusnya tidak netral. Tetapi untuk kasus perang Rusia vs Ukraina yang disokong NATO, Indonesia harus memosisikan diri netral dan mengajak sebanyak mungkin negara lain untuk anti perang. Sebab, perang adalah ketotolan dan jalan setan menuju kehancuran bumi dan umat manusianya.

Indonesia layak tampil sebagai negara yang berpengaruh di dunia untuk menjalankan misi perdamaian ini.

Sejarah peranan Indonesia di dalam diplomasi dan perdamaian sudah dikenal dunia, tepatnya saat Bung Karno jadi tokoh dunia yang sangat dikenal karena berdiri di tengah konflik ideologi  yang mengerikan antara Barat dan Timur.

Pada zaman Soeharto juga banyak tampil diplomat-diplomat hebat yang mampu berperan mendamaikan konflik ideologi di Asia Tenggara dan Timur Tengah.

Peranan Jokowi dalam hal ini sangat dihargai karena merupakan lompatan untuk Indonesia tampil kembali di gelanggang internasional, yang riskan konflik. Selamat berjuang Mr President!

Paris, 29 Juni 2022

Oleh:
Prof. Didik J Rachbini, MSc., PhD.
Rektor Universitas Paramadina

Khazanah Islam: Masuk Daftar Nominator Warisan Budaya Tak Benda, Reog Ponorogo Segera Diakui UNESCO