Ketua Dewan Pengurus LP3ES Abdul Hamid menyebut bahwa Indonesia tengah dilanda banyak penyakit, termasuk polarisasi politik.
Hal ini dikemukakan olehnya kala membuka diskusi publik bertajuk "Masa Depan Reformasi Birokrasi dan Pemerintahan Berkaca pada Kontroversi 349 T Kementerian Keuangan RI" kerja sama dengan Universitas Paramadina, belum lama ini.
Abdul Hamid juga menyatakan bahwa masalah-masalah polarisasi dan politik identitas harus serius diatasi agar tidak terus-menerus menjadi penyakit berkepanjangan yang seringkali dimanfaatkan pada saat terjadinya hajatan politik seperti pemilu dan pilkada.
Baca Juga: Lagi-lagi, Luhut Dapat Jabatan Strategis dari Jokowi, Kali Ini Ditunjuk untuk Pimpin Satgas Sawit
"Negeri ini harus diobati agar tidak terus-menerus ada di dalam siklus kekerasan," tambahnya.
Sebagai narasumber pertama, ekonomi senior Rizal Ramli mendorong intelektual perlu aktif terlibat dalam isu-isu publik.
"Melihat refleksi akademisi di masa perang kemerdekaan di mana mereka berani menyuarakan pendapat. Perubahan yang didorong oleh kalangan intelektual di masa kemerdekaan telah menghasilkan prinsip prinsip dasar kemerdekaan," ujarnya.
Menurut Rizal Ramli, reformasi setelah kejatuhan Soeharto berjalan cukup baik, demokrasi dan pers berjalan baik, kebijakan ekonomi Habibie berhasil menjauhkan Indonesia dari krisis.
"Namun sayangnya, lambat laun demokratisasi kembali mengalami kemunduran, terutama di masa pemerintahan saat ini. Sikap-sikap otoritarian semakin menguat di era saat ini. Anggota DPR dapat dipecat oleh ketua umum partai apabila bersikap kritis. Berbeda dengan masa era reformasi, DPR bersikap kritis di masa itu," tutur mantan Menko Kemaritiman era Presiden Jokowi ini.
Ketua umum partai di era ini dinilainya cenderung terikat pada kekuasaan, sehingga demokrasi kepartaian berhasil dilumpuhkan. Makanya saran dia, di masa mendatang ketua umum partai tidak boleh memecat anggotanya, kecuali jika terindikasi berbuat kriminal.
Ia juga melihat adanya ironi demokrasi saat ini.
Baca Juga: Gantian Erick Thohir yang 'Diendorse' Jokowi Kemana-mana
"Presiden Jokowi menikmati demokrasi namun melemahkan demokrasi dengan mengikat partai-partai, lalu meluncurkan isu islamophobia dan membayar buzzer," ucapnya.
Rizal Ramli menambahkan, fenomena buzzer juga telah mendistorsi fungsi kritik yang seharusnya ada di negara demokrasi.
"Rezim pro rakyat memanfaatkan suara media untuk mengkritik diri sendiri, rezim tidak pro rakyat hobi melakukan pencitraan membayar buzzer dan media untuk menutupi keburukan pemerintahannya," ujarnya.
Khazanah Islam: Pujian untuk Ambisi Berkelanjutan, Warta Ekonomi Gelar Indonesia Most Visionary Companies Awards 2024