Menu


Haruskah Frasa 'Serta-Merta' PN Jakpus Dilaksanakan?

Haruskah Frasa 'Serta-Merta' PN Jakpus Dilaksanakan?

Kredit Foto: Pixabay/Mdesigns

Konten Jatim, Jakarta -

Putusan perdata Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) yang memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menghentikan penyelenggaraan tahapan Pemilu 2024 masih harus dilaksanakan. Penegakan penundaan hajatan demokrasi adalah pemberlakuan putusan “serta-merta” dari hakim yang menerima gugatan Partai Rakyat Adil dan Makmur (PRIMA)

Dekan Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI) Hendri Pandiangan mengatakan, putusan "serta-merta" tersebut mengharuskan KPU melaksanakan putusan PN Jakpus meski penyelenggara pemilu itu melakukan upaya hukum. “Putusan serta-merta itu artinya secara normatif adalah putusan yang dapat dilaksanakan walaupun ada upaya hukum banding ataupun kasasi dari pihak tergugat,” begitu kata pengajar hukum perdata itu kepada Republika, Selasa (7/3).

Baca Juga: Tolak Putusan Penundaan Pemilu PN Jakpus, Komnas HAM: Urusi Kasus di Luar Yurisdiksinya 

Selama belum ada putusan hukum lain dari peradilan yang lebih tinggi di atas PN Jakpus, Hendri katakan, maka tak ada dasar hukum atau legalitas bagi KPU untuk menjalankan tahapan lanjutan Pemilu 2024. Ketidakpatuhan KPU atas keputusan serta-merta dari PN Jakpus tersebut dikhawatirkan bakal mengundang permasalahan hukum yang baru. Sebab, tahapan lanjutan Pemilu 2024 dapat dikatakan cacat hukum dan rawan digugat setelah putusan serta-merta dari PN Jakpus diamarkan.

“Mengenai putusan PN Jakpus itu, kalau ditanyakan bisa dieksekusi atau tidak, jawaban saya itu bisa dieksekusi. Setiap keputusan pengadilan itu bisa dan harus dieksekusi untuk kepastian hukum. Dalam kasus ini, hakim memberikan putusan serta-merta yang itu harus dilaksanakan meskipun KPU sebagai pihak tergugat melakukan upaya hukum banding ataupun kasasi nantinya. Tetapi, secara objektif saya katakan, secara norma hukum, putusan serta-merta itu harus dilaksanakan. Dalam bahasa hukumnya, harus dieksekusi,” ujar Hendri.

Eksekusi putusan dalam keperdataan, kata Hendri, ada dua cara. Pertama, eksekusi yang dilakukan pihak tergugat secara sukarela. Artinya, KPU sebagai pihak tergugat yang dalam kasus ini "dikalahkan" oleh pengadilan melaksanakan semua keputusan hakim.

Selanjutnya, eksekusi putusan juga dapat dilakukan dengan cara pihak penggugat memohonkan kepada pengadilan agar pihak tergugat melaksanakan eksekusi. Dalam hal tersebut, Prima sebagai penggugat mengirimkan surat permohonan eksekusi kepada pengadilan agar KPU melaksanakan putusan hakim.

“Ketika bicara keputusan itu serta-merta, sesuai dengan hukum acara perdata, maka pelaksanaan eksekusi itu harus melalui mekanisme peradilan juga. Karena putusannya serta-merta maka dia mengajukan pelaksanaan keputusan kepada pengadilan. Nanti pengadilan akan memanggil penggugat dan tergugat. Anda (KPU, tergugat -- Red) mau tunduk secara sukarela menjalankan keputusan ini atau enggak? Kalau ternyata mau sukarela, artinya menghentikan tahapan-tahapan pemilu, berarti selesai,” ujar Hendri.

Baca Juga: Pernyataan Jokowi Terkait Putusan Penundaan Pemilu Seharusnya Bisa Hentikan Polemik

Namun, jika KPU menolak untuk melaksanakan putusan tersebut, eksekusi serta-merta tetap harus dilakukan sampai adanya keputusan hakim tinggi ataupun Mahkamah Agung (MA) yang menganulir atau mengubah putusan hakim peradilan tingkat pertama tersebut.

Namun, Hendri pun menilai putusan keperdataan dari hakim PN Jakpus dalam kasus antara Partai Prima dan KPU ini memang kontroversial juga menimbulkan dampak yang serbasalah. Hendri mengatakan, objektivitas hukum dalam perkara ini memang harus menjadi hal yang utama.

Perkara tersebut sudah mendapatkan pengujian dan pembuktian melalui proses di persidangan dan berujung adanya jawaban berupa putusan dari hakim pengadilan. Dalam perspektif negara hukum, putusan hakim di pengadilan adalah kebenaran dan harus dilaksanakan.

Persoalannya, kata Hendri, yang menjadi serbasalah, keputusan hakim pengadilan dalam kasus tersebut berdampak pada rasa keadilan bagi masyarakat. Sebab, dia mengatakan, meskipun perkara kasus tersebut disorongkan ke masalah keperdataan, materi gugatan dari Prima terhadap KPU berkaitan dengan proses administrasi kepemiluan yang merupakan ranah lembaga peradilan maupun lembaga lain. Putusan hakim PN Jakpus yang menghukum KPU dengan perintah menghentikan sisa tahapan Pemilu 2024 selama 2 tahun 4 bulan dan 7 hari juga dinilai mengorbankan hak orang banyak.

Putusan hakim yang menghukum KPU menghentikan tahapan pemilu tersebut sama artinya dengan menunda pelaksanaan Pemilu 2024 ke tahun berikutnya pada 2025. Karena itu, kata Hendri, meskipun adanya putusan serta-merta yang tetap mengharuskan adanya eksekusi putusan, KPU dapat menjadikan alasan sosiologis hukum dalam perannya untuk tetap melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024.

Namun, pilihan itu dipastikan dapat dinilai cacat hukum dan KPU akan rawan digugat. Ia menilai pengutamaan hak publik terhadap penyelenggaraan Pemilu 2024 adalah alasan yang lebih konstitusional.

“Pandangan saya, karena belum ada putusan yang sifatnya final dan inkrah mengeksekusi putusan itu untuk KPU menyetop (tahapan Pemilu 2024) itu secara eksekutorial, maka sah-sah saja kalau KPU saat ini tetap melanjutkan tahapan-tahapan Pemilu 2024 karena adanya alasan nonhukum dan unsur kepentingan publik terkait dengan peran KPU sebagai penyelenggara pemilu. Ini kan masalah kepentingan umum, dengan mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat dan mengingat KPU ini adalah lembaga publik,” sambung Hendri.

Ketua Umum Prima Agus Jabo Priyono mengajak semua pihak untuk menghormati putusan PN Jakpus. KPU pun, kata Agus, perlu melaksanakan putusan PN Jakpus tanpa perlu pihaknya melakukan permohonan eksekusi. 

“Kita meminta mereka harus menghentikan dulu semua proses dan tahapan Pemilu 2024 yang sudah diputuskan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,” begitu kata Jabo saat dihubungi Republika dari Jakarta, Senin (6/3). “Penghentian tahapan pemilu itu konsekuensi dari keputusan pengadilan,” begitu sambung Jabo.

PN Jakpus pada Kamis (2/3) memutuskan untuk mengabulkan semua gugatan keperdataan ajuan Prima atas KPU. Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan, KPU melakukan perbuatan melawan hukum (PMH). Putusan lainnya menyatakan, Prima adalah partai politik yang dirugikan dalam verifikasi administrasi oleh KPU.

Majelis hakim menghukum KPU sebagai tergugat untuk membayar ganti kerugian kepada Prima sebagai penggugat senilai Rp 500 juta karena tak lolos verifikasi sebagai peserta Pemilu 2024. Putusan kontroversial dalam perkara perdata itu berkaitan dengan tuntutan penggugat atas tergugat perihal Pemilu 2024.

Majelis hakim menjatuhkan hukuman terhadap KPU sebagai penyelenggara Pemilu 2024 untuk menghentikan seluruh tahapan pemilu selama 2 tahun 4 bulan dan 7 hari. Penghentian tahapan pemilu tersebut dalam putusan dilakukan sejak penjatuhan amar.

"Menghukum tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 (dua) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari," begitu bunyi putusan hakim. “Menyatakan putusan perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu secara serta-merta (uitvoerbaar bij voorraad),” sambung putusan tersebut.

Putusan PN Jakpus itu memancing reaksi negatif karena dapat mengancam batalnya pelaksanaan Pemilu 2024 yang sudah ditetapkan. Sejumlah pengamat dan guru besar ilmu hukum pun menilai putusan PN Jakpus itu menyimpang serta cacat kompetensi. Sebab, perkara Partai Prima versus KPU tersebut berkaitan dengan kepemiluan yang tak bisa diperkarakan secara keperdataan di peradilan umum. Perkara kepemiluan merupakan kewenangan pengadilan tata usaha negara (PTUN) atau Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sebagai pengadil.

Selain itu, jika selisih paham di antara kedua pihak beperkara berkaitan dengan hasil pemilihan umum, kanalnya yang tepat adalah Mahkamah Konstitusi (MK), bukan peradilan perdata.

“Hakimnya itu layak untuk dipecat saja. Hakimnya tidak profesional dan tidak mengerti hukum sama sekali. Tidak mengerti hukum pemilu, tidak mampu membedakannya dengan urusan private (keperdataan -- Red) dan yang menjadi urusan publik,” ujar mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie.

Atas putusan PN Jakpus tersebut, KPU menyatakan banding. Ketua KPU Hasyim Asyari pun mengatakan, putusan PN Jakpus itu tak mendesak penyelenggara pemilu menyetop tahapan lanjutan Pemilu 2024. “Kami tegaskan bahwa KPU tetap akan menjalankan tahapan-tahapan penyelenggaraan Pemilu 2024 ini,” ungkap Hasyim saat konferensi pers daring, Kamis (2/3).

Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun kemarin mengatakan akan mendukung langkah KPU untuk mengajukan banding. Kata dia, semua pihak telah menjalankan tahapan pemilu untuk memastikan pesta demokrasi lima tahunan itu tetap digelar pada 2024 mendatang.

Khazanah Islam: Pujian untuk Ambisi Berkelanjutan, Warta Ekonomi Gelar Indonesia Most Visionary Companies Awards 2024

Artikel ini merupakan kerja sama sindikasi konten antara Konten Jatim dengan Republika.