Seringkali, masyarakat sekitar memanfaatkan alun-alun yang seharusnya eksklusif untuk pemerintah Belanda ini untuk kegiatan sehari-hari semata. Bahkan, setiap sore harinya selalu ada pedagang yang menjajakan jajanan. Alun-alun ini penuh dengan pribumi.
Hal ini membuat Belanda membiarkan Alun-Alun Merdeka menjadi taman biasa untuk rakyat pribadi. Mereka kembali membuat alun-alun baru demi kembali mendapatkan otoritas kekuasaan.
Baca Juga: Gemerlap LED Malam Hari di Malang Night Paradise, Bak Surga Cahaya
Alun-Alun Bunder
Inilah masanya Alun-Alun Bunder. Alun-alun ini dimulai pembangunannya pada 1917 dan selesai pada 1922, dengan nama asli JP Coen Plein. Tata letak alun-alun ini kali ini menggunakan pakem alun-alun Jawa pada umumnya, meski tetap bergaya Eropa.
Saat itu, pusat pemerintahan Malang yang menjadi Kotamadya dipindahkan ke dekat alun-alun ini dan menghadap utara. Dari sini, bisa terlihat jelas pemandangan gunung di sekitar Malang, seperti Gunung Arjuno, Semeru, dan Gunung Kawi
Adapun, nama ‘Bunder’ yang tersemat pada alun-alun ini datang dari bentuk Alun-alun yang serupa lingkaran.
Baca Juga: Kota Malang, Kota Paris van East Java Yang Sejuk Dan Indah
Per 1946, Bung Karno meresmikan sebuah tugu yang dibangun di tengah-tengah Alun-Alun Bunder. Ini alasannya alun-alun ini juga dikenal sebagai Alun-Alun Tugu. Sejak itulah, Malang menjadi punya dua alun-alun yang masih dipergunakan hingga sekarang.
Khazanah Islam: Awas! Ini Sederet Posisi Seks yang Dilarang dalam Islam, tapi Nomor 2 Sering Dilakukan